Minggu, 02 Juni 2013

MAKALA URGENSI TANAH

1
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tanah dan bangunan merupakan benda-benda yang memegang peranan
penting dalam kehidupan manusia, Tanah dan bangunan merupakan salah satu
kebutuhan pokok manusia (kebutuhan papan) yang mempengaruhi eksistensi tiap-tiap
individu karena setiap manusia membutuhkan tempat unutuk menetap.Hak-hak atas
tanah mempunyai peranan sangat penting dalam kehidupan manusia ini, makin maju
masyarakat, makin padat penduduknya, akan menambah lagi pentingnya kedudukan
hak-hak atas tanah itu.

Mengingat besarnya peranan hak-hak atas tanah dengan makin meningkatnya
harga tanah, maka dengan berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria beserta
peraturan-peraturan pelaksanaannya, peralihan hak atas tanah itu dipandang perlu
ditingkatkan lebih tinggi dan diatur tersendiri.Dalam pembangunan nasional peranan
tanah bagi pemenuhan berbagai keperluan akan meningkat baik untuk keperluan
pemukiman maupun kegiatan usaha. Sebagai capital asset, tanah telah tumbuh
sebagai benda ekonomi yang sangat penting, tidak saja sebagai bahan perniagaan tapi
juga sebagai obyek spekulasi. Disatu sisi tanah harus dipergunakan dan dimanfaatkan
sebesar-besarnya untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat dan disisi lain harus
dijaga kelestariannya.1
1
 Achmad Rubaie, Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, Malang,
Bayumedia, 2007, hal. 1.
Universitas Sumatera Utara2
Sejak diundangkannya Undang-Undang Pokok Agraria pada tanggal 24
September 1960, maka mulai tanggal tersebut merupakan salah satu tonggak yang
sangat penting dalam sejarah perkembangan agraria/pertanahan di Indonesia
pada umumnya dan pembaruan hukum agraria/hukum tanah Indonesia pada
khususnya.2
Sehubungan dengan itu akan meningkat pula kebutuhan akan dukungan
jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan. karena itu perlu diciptakan suatu
kepastian hukum bagi setiap pemegang hak atas tanah maupun bagi masyarakat
umum, melalui suatu proses pencatatan secara sistematis atas setiap bidang tanah baik
mengenai data fisik maupun data yuridis, dan kegiatan semacam ini dikenal dengan
sebutan pendaftaran tanah.
Pendaftaran hak dan pendaftaran peralihan hak atas tanah ini sebagaimana
diatur dalam Pasal 19 ayat 2 sub b Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. (selanjutnya disebut UUPA), merupakan
sebagian dari tugas dan wewenang Pemerintah di bidang pendaftaran tanah.
Dibidang ini, pendaftaran Hak dan pendaftaran peralihan hak dapat dibedakan 2
tugas, yaitu:
1. Pendaftaran Hak atas Tanah, adalah pendaftaran hak untuk pertama kalinya
atau pembukuan suatu hak atas tanah dalam daftar buku tanah.
2. Pendaftaran Peralihan Hak atas Tanah.3
2
 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jakarta, Djambatan, 2007, hal. 3.
3
 Ali Achmad Chomsah, Hukum Agraria (Pertanahan Indonesia), Jilid 2, Jakarta, Prestasi
Pustaka Publisher, 2004, hal. 37.
Universitas Sumatera Utara3
Fungsi pendaftaran tanah adalah untuk menjamin kepastian hukum dan
penjabaran fungsi ini dapat ditemukan dalam berbagai ketentuan diantaranya yaitu:
1. Sertipikat merupakan surat tanda bukti yang berlaku sebagai alat pembuktian
yang kuat mengenai data yuridis dan data fisik yang termuat di dalamnya
(Pasal 32 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997).
2. Sertipikat yang telah diterbitkan secara sah atas nama orang atau badan
hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata
menguasainya, maka pihak lain yang mempunyai hak atas tanah itu tidak
dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu 5 Tahun
sejak diterbitkannya sertipikat itu tidak mengajukan keberatan secara tertulis
kepada pemegang sertipikat dan kepala kantor pertanahan yang bersangkutan
ataupun tidak mengajukan gugatan yang bersangkutan ataupun tidak
mengajukan gugatan pada Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau
penerbitan sertipikat tersebut (Pasal 32 ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997).
3. Pejabat Pembuat Akta Tanah bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan
pendaftaran tanah dengan membuat akta tanah sebagai bukti telah
dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak
milik atas tanah atau hak atas milik satuan rumah susun yang akan dijadikan
dasar bagi pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu
(Pasal 2 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan
Jabatan PPAT)
Universitas Sumatera Utara4
Pendaftaran peralihan hak atas tanah, dilaksanakan oleh Pejabat Pembuat
Akta Tanah (selanjutnya disebut PPAT), hal tersebut sesuai dengan ketentuan
tentang Peraturan Jabatan PPAT yakni Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998
tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, yang pada Pasal 2
menyatakan :
1. PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah
dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum
tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun,
yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah
yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu.
2. Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai
berikut:
a. jual beli;
b. tukar menukar;
c. hibah;
d. pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng);
e. pembagian hak bersama;
f. pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak Milik
g. pemberian Hak Tanggungan;
h. pemberian Kuasa Membebankan Hak Tanggungan.
Pejabat Pembuat Akta Tanah diangkat oleh pemerintah, dalam hal ini Badan
Pertanahan Nasional dengan tugas dan kewenangan tertentu dalam rangka melayani
kebutuhan masyarakat akan akta pemindahan hak atas tanah, akta pembebanan hak
atas tanah, dan akta pemberian kuasa pembebanan hak tanggungan sebagaimana
diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.4
Dalam perkembangan pendaftaran tanah di Indonesia, kedudukan PPAT
sebagai pejabat umum dikukuhkan melalui berbagai peraturan perundang-undangan
yaitu:
4
 Jimly Asshiddiqie, Independensi Dan Akuntabilitas Pejabat Pembuat Akta Tanah, Majalah
Renvoi Edisi 3 Juni Tahun 2003, hal. 31.
Universitas Sumatera Utara5
1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas tanah
beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah.
 Pengertian Pejabat Pembuat Akta Tanah sebagaimana diatur dalam Pasal 1
ayat (4) adalah: “Pejabat umum yang diberi wewenang untuk membuat akta
pemindahan hak atas tanah, akta pembebanan hak atas tanah dan akta
pemberian kuasa membebankan hak tanggungan menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku”.
2. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah,
Pasal 1 angka 24 menyatakan bahwa PPAT adalah: “Pejabat umum yang
diberi kewenangan untuk membuat akta-akta tanah tersebut”.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan
Pejabat Pembuat Akta Tanah, secara khusus diatur dalam Pasal 1 butir 1, yang
berbunyi: “Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah pejabat umum yang diberi
wewenang untuk membuat akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu
mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun”.
Selanjutnya Kepala Badan Pertahanan Nasional melalui Peraturan Menteri
Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3/1997 telah mengatur bahwa akta-akta
Pejabat Pembuat Akta Tanah harus dibuat dengan menggunakan blangko akta
Pejabat Pembuat Akta Tanah yang disediakan (dicetak) oleh Badan Pertanahan
Nasional atau instansi lain yang ditunjuk artinya tanpa blangko akta PPAT yang
dicetak, PPAT tidak boleh menjalankan jabatannya dalam membuat akta-akta PPAT.
Aturan ini menimbulkan ketergantungan pelaksanaan tugas jabatan PPAT sebagai
pejabat umum dengan keberadaan blangko akta PPAT.
Universitas Sumatera Utara6
Akta PPAT merupakan salah satu sumber utama dalam rangka pemeliharaan
pendaftaran tanah di Indonesia. PPAT sudah dikenal sejak berlakunya Peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah, yang merupakan
peraturan tanah sebagai pelaksana UUPA.5
Untuk menjamin hukum atas terjadinya suatu perbuatan hukum peralihan dan
pembebanan oleh para pihak atas tanah harus dibuat dengan bukti yang sempurna
yaitu harus dibuat dalam suatu akta otentik yang dibuat oleh dan dihadapan pejabat
yang ditunjuk oleh Menteri Agraria. Hal ini dimaksud untuk menjamin hak dan
kewajiban serta akibat hukum atas perbuatan hukum atas tanah oleh para pihak.
Pada setiap pembuatan akta dihadapan PPAT, wajib menggunakan blangko
yang telah tercetak dan pendistribusiannya melalui Kantor Pertanahan Kota/
Kabupaten. Akta PPAT merupakan salah satu sumber data bagi pemeliharaan data
pendaftaran tanah, maka wajib dibuat sedemikian rupa sehingga dapat dijadikan dasar
yang kuat untuk pendaftaran pemindahan dan pembebanan hak yang bersangkutan.
Oleh karena itu PPAT bertanggung jawab untuk memeriksa syarat-syarat untuk
sahnya perbuatan hukum yang bersangkutan. Antara lain dengan mencek bersih
sertipikat atau mencocokkan data yang terdapat dalam sertipikat dengan daftar-daftar
yang ada di Kantor Pertanahan.6
Tata cara dan formalitas pembuatan akta otentik adalah merupakan ketentuan
hukum yang memaksa, artinya tata cara dan prosedur pembuatan itu harus diikuti
dengan setepat-tepatnya tanpa boleh disimpangi sedikitpun. Penyimpangan dari
5
 Boedi Harsono, Op.cit., hal. 74.
6
Ibid., hal. 507.
Universitas Sumatera Utara7
tatacara dan prosedur pembuatan akta otentik akan membawa akibat hukum kepada
kekuatan pembuktian akta itu.
Keberadaan suatu akta otentik dan pejabat umum di Indonesia diatur dalam
Pasal 1868 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang berbunyi: “akta otentik
adalah akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-Undang dibuat oleh
atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu ditempat dimana akta itu
dibuatnya.” Pasal tersebut menghendaki adanya Undang-Undang organik yang
mengatur tentang bentuk akta otentik dan pejabat umum, tidak mengatur tentang
blangko akta otentik.
Sementara dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang
peraturan jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah merumuskan “Pejabat Pembuat Akta
Tanah adalah pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik…” kata-kata
membuat diartikan dalam pengertian luas (verlijden) yaitu memprodusir akta dalam
bentuk yang ditentukan oleh Undang-Undang termasuk mempersiapkan, menyusun
dan membuat akta sesuai dengan bentuk yang ditentukan.
PPAT sebagai pejabat umum yang berwenang membuat akta-akta mengenai
tanah tentunya harus memiliki kemampuan dan kecakapan khusus di bidang
pertanahan agar akta-akta yang dibuatnya tidak menimbulkan permasalahan
dikemudian hari mengingat akta yang dibuatnya adalah akta otentik yang dapat
digunakan sebagai alat bukti.
Fungsi blangko akta PPAT secara tegas dicantumkan sebagai syarat untuk
dapat digunakan sebagai dasar pendaftaran perubahan, peralihan hak dan data
pendaftaran tanah, hal ini dimuat dalam Pasal 96 ayat 1, ayat 2 dan ayat 3 Peraturan
Universitas Sumatera Utara8
Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997
tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah.
 Meskipun prosedur untuk melaksanakan peralihan sudah dilaksanakan
melalui akta PPAT, tetap terbuka kemungkinan akan dapat menimbulkan sengketa
pertanahan. Hal ini bisa disebabkan oleh karena adanya cacat hukum pada akta Jual
Beli tanah bersertipikat baik yang disebabkan oleh karena adanya penyimpangan atau
kesalahan pada pembuatan akta Jual Belinya ataupun karena adanya kesalahan pada
prosedur penandatanganan akta Jual Beli tersebut.
 Pada saat ini seringkali dalam prakteknya PPAT membuat akta jual beli yang
dilakukan dihadapan tidak sesuai dengan tata cara menurut ketentuan peraturan yang
berlaku, sehingga hal tersebut akan menimbulkan kerugian bagi para pihak yang
berkepentingan. Contoh-contoh pelanggaran yang sering terjadi dalam praktek
pembuatan akta PPAT adalah:
a. Menandatangani akte jual beli sebelum dilakukan cek bersih sertifikat dan
hanya melakukan cek lisan;
b. Akta jual beli tidak dibacakan oleh PPAT secara rinci namun hanya
menerangkan isi akta secara garis besar;
c. Penandatanganan terhadap akte jual beli dilakukan oleh para pihak tidak
secara bersamaan;
d. Saksi-saksi tidak pernah terlibat secara langsung dalam suatu proses
penandatanganan akta;
Universitas Sumatera Utara9
e. Menerima pekerjaan dari rekan sejawat, akan tetapi terhadap akta yang akan
dibuat telah ditandatangani sebelumnya oleh para pihak;
Berdasarkan uraian di atas, maka dilakukan penelitian dengan judul:
Akibat Hukum Dari Pembuatan Akta Jual Beli Tanah Bersertipikat Yang Tidak
Sesuai Dengan Tata Cara Pembuatan Akta PPAT (Studi Pada PPAT di Kabupaten
Langkat).
B. Perumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penulisan ini adalah sebagai berikut:
1. Mengapa terjadi pembuatan akta jual beli yang tidak sesuai ketentuan dalam
prosedur pembuatan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah?
2. Bagaimanakah peran Badan Pertanahan Nasional dalam melakukan pengawasan
atas tata cara pembuatan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah?
3. Bagaimanakah akibat hukum terhadap akta Pejabat Pembuat Akta Tanah yang
tidak sesuai dengan prosedur?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui terjadinya pembuatan akta jual beli yang tidak sesuai ketentuan
dalam prosedur pembuatan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah.
2. Untuk mengetahui peran Badan Pertanahan Nasional dalam melakukan
pengawasan atas tata cara pembuatan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Universitas Sumatera Utara10
3. Untuk mengetahui akibat hukum terhadap akta Pejabat Pembuat Akta Tanah yang
tidak sesuai dengan prosedur.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis dan
praktis, yaitu:
a. Secara Teoritis
 Diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan manfaat akademis
 untuk pengembangan ilmu hukum, terutama hukum pertanahan.
b. Secara Praktis
 Hasil penelitian ini dapat memberikan masukan dan pemikiran-pemikiran baru
bagi kalangan PPAT sehingga menyadari akibat-akibat yang dapat ditimbulkan
dan dengan demikian dapat menghindarkan PPAT dari kesalahan dalam
pembuatan akta yang berkaitan dengan pertanahan.
E. Keaslian Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa informasi dan
penelusuran kepustakaan di lingkungan Universitas Sumatera Utara khusus pada
Magister Kenotariatan Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, penelitian
dengan judul “Akibat Hukum Dari Pembuatan Akta Jual Beli Tanah Bersertifikat
Yang Tidak Sesuai Dengan Tata Cara Pembuatan Akta PPAT (Studi Pada Kantor
PPAT di Kabupaten Langkat)” belum pernah dilakukan. Dengan demikian penelitian
ini adalah asli dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademis. Meskipun ada
Universitas Sumatera Utara11
peneliti-peneliti pendahulu yang pernah melakukan penelitian mengenai masalah akta
Pejabat Pembuat Akta Tanah, namun menyangkut judul dan substansi pokok
permasalahan yang dibahas sangat jauh berbeda dengan penelitian ini. Adapun
penelitian yang berkaitan dengan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah tersebut yang
pernah dilakukan adalah :
1. Pantas Situmorang, NIM: 067011122, mahasiswa Magister Kenotariatan Sekolah
Pascasarjana USU, Tahun 2008, dengan judul “Problematika Keotentikan Akta
PPAT,” dengan permasalahan yang dibahas:
a. Apakah Akta PPAT yang dibuat dalam bentuk blanko atau formulir yang
ditetapkan oleh Menteri memenuhi syarat sebagai akta otentik ?
b. Apakah PPAT yang tugas pokoknya membantu kepala Kantor Pertanahan
dalam pendaftaran tanah memenuhi syarat sebagai pejabat yang membuat akta
otentik ?
c. Apakah kendala-kendala yang dihadapi PPAT dalam melaksanakan tugas dan
profesinya ?
2. Nelly Sriwahyuni Siregar, NIM: 067011059, mahasiswa Magister Kenotariatan
Sekolah Pascasarjana USU, Tahun 2008, dengan judul “Tinjauan Yuridis
Kedudukan Kuasa Mutlak Dalam Peralihan Hak Atas Tanah Oleh Notaris / PPAT
(Pejabat Pembuat Akta Tanah),” dengan permasalahan yang dibahas:
a. Mengapa kuasa mutlak sebagai tindak lanjut dari perjanjian pendahuluan
dalam peralihan hak atas tanah masih dapat diberlakukan ?
b. Bagaimana secara yuridis kedudukan kuasa mutlak dalam peralihan hak atas
tanah yang dibuat dihadapan notaris/PPAT ?
Universitas Sumatera Utara12
c. Bagaimana perlindungan hukum terhadap para pihak yang telah melakukan
peralihan hak atas tanah dengan memakai kuasa mutlak
 Jika diperbandingkan penelitian yang pernah dilakukan dengan penelitian ini,
baik permasalahan maupun pembahasan adalah berbeda. Oleh karena itu penelitian
ini adalah asli dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademis.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Perkembangan ilmu hukum tidak terlepas dari teori hukum sebagai
landasannya dan tugas teori hukum adalah untuk: “menjelaskan nilai-nilai hukum dan
postulat-postulatnya hingga dasar-dasar filsafatnya yang paling dalam, sehingga
penelitian ini tidak terlepas dari teori-teori ahli hukum yang di bahas dalam
bahasa dan sistem pemikiran para ahli hukum sendiri”.7
Kerangka teori merupakan landasan dari teori atau dukungan teori dalam
membangun atau memperkuat kebenaran dari permasalahan yang dianalisis.
“Kerangka teori dimaksud adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori,
tesis, sebagai pegangan baik disetujui atau tidak disetujui”.8
Teori berguna untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik
atau proses tertentu terjadi dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada
fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya. Menurut Soerjono Soekanto,
7
 Lawrence M. Friedman, Teori dan Filsafat Umum, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1996,
hal. 2.
8
 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung, Mandar Maju, 1994, hal. 80.
Universitas Sumatera Utara13
bahwa “kontinuitas perkembangan ilmu hukum, selain bergantung pada metodologi,
aktivitas penelitian dan imajinasi sosial sangat ditentukan oleh teori.”9
Snelbecker mendefenisikan “teori sebagai perangkat proposisi yang
terintegrasi secara sintaksis (yang mengikuti aturan tertentu yang dapat dihubungkan
secara logis satu dengan lainnya dengan tata dasar yang dapat diamati) dan berfungsi
sebagai wahana untuk meramalkan dan menjelaskan fenomena yang diamati”.10
Dalam pembahasan mengenai akibat hukum dari pembuatan akta jual beli
tanah bersertipikat yang tidak sesuai dengan tata cara pembuatan akta PPAT, maka
teori yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah teori sistem hukum dari
Lawrence M. Friedman, yaitu hukum dilihat sebagai suatu yang berdiri sendiri.
Keterkaitan dengan elemen-elemen lain merupakan penanda khas atas sistem hukum
tersebut. Elemen lain yang dimaksudkan friedman adalah ekonomi dan politik.
Gambaran tentang kaitan antar subsistem tersebut tercakup dalam uraiannya
mengenai sistem hukum dalam suatu masyarakat merupakan bagian dari sistem sosial
masyarakat tersebut. 11
Lebih lanjut Lawrence M. Friedman menyatakan bahwa tiga komponen utama
yang dimiliki sistem hukum, yaitu:
1. Komponen struktur yaitu kelembagaan yang diciptakan oleh sistem hukum
itu dengan berbagai macam fungsi dalam rangka mendukung bekerjanya
sistem tersebut. Komponen ini dimungkinkan untuk melihat bagaimana sistem
hukum itu memberikan pelayan terhadap penggarapan bahan-bahan hukum
secara teratur.
9
 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI Press, 1986, hal. 6.
10 Snelbecker dalam Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung, Remaja
Rosdakarya, 1993, hal. 34-35.
11 Lawrence M. Friedman, American Law, New York-London, W.W. Norton & Company,
1984, hal. 5-6.
Universitas Sumatera Utara14
2. Komponen substantif yaitu sebagai output dari sistem hukum berupa
peraturan-peraturan, keputusan-keputusan yang digunakan baik oleh pihak
yang mengatur maupun yang diatur.
3. Komponen kultural yaitu terdiri dari nilai-nilai dan sikap-sikap yang
mempengaruhi bekerjanya hukum, atau disebut sebagai kultur hukum. Kultur
hukum inilah yang berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan antara
peraturan hukum dan tingkah laku hukum seluruh warga masyarakat.12
Ketiga komponen tersebut penting diterapkan dalam kaitannya dengan
kegiatan pendaftaran tanah sehingga masyarakat, instansi/pejabat terkait merasa aman
dan terlindungi dalam melaksanakan kegiatan pendaftaran tanah guna mencapai
kepastian hukum.
Komponen struktur hukum misalnya merupakan representasi dari aspek
institusional (birokrasi) yang memerankan tugas pelaksanaan hukum dan pembuatan
undang-undang. Substansi hukum, sebagai suatu aspek dari sistem hukum,
merupakan refleksi dari aturan-aturan yang berlaku, norma dan perilaku masyarakat
dalam sistem tersebut. Tercakup dalam konsep tersebut adalah bagaimana apresiasi
masyarakat terhadap aturan-aturan formal yang berlaku. Disinilah muncul konsep
hukum yang hidup dalam masyarakat (living law). Oleh karena itu, maka konsep
legal subtance juga meliputi apa yang dihasilkan oleh masyarakat.13
Sedangkan budaya hukum dimaksudkan sebagai sikap atau apresiasi
masyarakat terhadap hukum dan sistem hukum. Ke dalam komponen tersebut adalah
kepercayaan terhadap hukum, nilai (value), ide atau gagasannya dan harapanharapannya. Dengan kata lain hal itu merupakan bagian dari budaya secara umum
12 Ibid., hal. 17.
13 Ibid., hal. 6.
Universitas Sumatera Utara15
yang diorientasikan pada sistem hukum. Gagasan-gagasan dan opini harus dimengerti
sebagai hal yang berhubungan dengan perkembangan proses hukum.14
Sistem hukum, sebagai bagian dari sistem sosial harus dapat memenuhi
harapan sosial. Oleh karena itu maka sistem hukum harus menghasilkan sesuatu yang
bercorak hukum (output of law) yang pada dirinya signifikan dengan harapan sosial.
Terdapat 4 (empat) hal yang harus dihasilkan atau di penuhi oleh suatu sistem hukum,
yaitu:
1. Sistem hukum secara umum harus dapat mewujudkan apa yang menjadi
harapan masyarakat atas sistem tersebut.
2. Harus dapat menyediakan skema normatif, walaupun fungsi penyelesaian
konflik tidak semata-mata menjadi monopoli sistem hukum.Dimana sistem
hukum harus dapat menyediakan mekanisme dan tempat dimana orang dapat
membawa kasusnya untuk diselesaikan.
3. Sistem hukum sebagai kontrol sosial yang esensinya adalah aparatur hukum,
Polisi dan hakim misalnya harus menegakkan hukum.
4. Dalam kaitan dengan fungsi kontrol sosial, desakan kekuatan sosial untuk
membuat hukum, harus direspon oleh institusi hukum, mengkristalkannya,
menuangkannya kedalam aturan hukum, dan menentukan prinsipnya. Dalam
konteks ini, sistem dapat dikatakan sebagai instrumen perubahan tatanan
sosial atau rekayasa sosial.15
Hukum pertanahan tidak terlepas dari sistem sosial, yang mana salah satu
syarat untuk memperoleh Hak atas tanah harus melalui prosedur pendaftaran tanah
yang tujuan pokoknya adalah adanya kepastian hak atas tanah. Selain itu, pendaftaran
yang dilakukan atas hak seseorang mencegah klaim seseorang atas tanah kecuali dia
lebih berhak dan dapat mengajukan ke pengadilan negeri setempat dengan
membuktikan tentang kebenaran haknya itu sesuai dengan asas pendaftaran tanah
14 Ibid., hal. 218.
15 Adrian Sutedi, Tinjauan Hukum Pertanahan, Jakarta, Pradnya Paramita, 2009, hal. 104.
Universitas Sumatera Utara16
yang negatif yang dianut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah.
Pada dasarnya tujuan pelayanan pendaftaran tanah adalah untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dalam mencapai tujuan tersebut sasaran
pemerintahan dalam mengelola pertanahan adalah catur tertib pertanahan, yaitu tertib
hukum pertanahan, tertib administrasi pertanahan, tertib penggunaan tanah, dan tertib
pemeliharaan tanah dan lingkungan hidup. Catur tertib pertanahan tersebut
merupakan tugas yang tidak dapat dilaksanakan oleh Badan Pertanahan Nasional
sendiri, tetapi merupakan tugas dan fungsi lintas departemen. Dari keempat tertib
pertanahan tersebut di atas salah satu sasaran yang cukup urgen adalah menyangkut
administrasi Pertanahan. Badan Pertanahan Nasional merupakan pelaku utama untuk
tercapainya tertib administrasi pertanahan.
Dalam rangka memberikan kepastian hukum atas hak dan batas tanah,
Pasal 19 UUPA menugaskan kepada pemerintah untuk menyelenggarakan
pendaftaran tanah yang sangat penting artinya untuk mendapat ketenangan dan
kepercayaan diri bagi masyarakat yang mempunyai hak atas tanah. Pendaftaran tanah
pertama kali yang meliputi kegiatan pengukuran dan pemetaan, pembukuan tanah,
ajudikasi, pembukuan hak atas tanah dan penerbitan sertipikat memerlukan biaya
yang relatif tinggi.16
Pemberian jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan memerlukan
tersedianya perangkat hukum yang tertulis, lengkap dan jelas yang dilaksanakan
16 Ibid., hal. 2
Universitas Sumatera Utara17
secara konsisten sesuai dengan jiwa dan isi ketentuan-ketentuannya agar orang dalam
melakukan perbuatan hukum yang bersangkutan dengan tanah mendapat jaminan
kepastian hukum dan jaminan kepastian hak atas tanah.17
Muhammad Yamin berpendapat ”memperbaiki kepastian hukum, memang
bukan satu-satunya dan juga tidak bisa berdiri sendiri, namun dengan mengetahui hak
dan kewajiban masing-masing yang diatur dalam hukum sangat dimungkinkan tidak
terjadi sengketa”18 artinya bila kepastian hukum yang dijadikan sasaran, maka hukum
formal adalah wujud yang dapat diambil sebagai tolak ukurnya, dengan demikian
perlu mengkaji hukum formal sebagai basis dalam menganalisis suatu kebijakan yang
dapat memberikan suatu kepastian hukum.
Sementara menurut Soerjono Soekanto bagi kepastian hukum yang penting
adalah peraturan dan dilaksanakan peraturan itu sebagaimana yang ditentukan.
Apakah peraturan itu harus adil dan mempunyai kegunaan bagi masyarakat adalah di
luar pengutamaan kepastian hukum. Dengan demikian kepastian hukum sebagai nilai
selalu menggeser nilai-nilai keadilan dan kegunaan ke samping.19
Dengan tersedianya perangkat hukum yang tertulis, siapa pun yang
berkepentingan akan mudah mengetahui kemungkinan apa yang tersedia baginya
untuk menguasai dan menggunakan tanah yang diperlukannya, bagaimana cara
memperolehnya, hak-hak, kewajiban serta larangan-larangan apa yang ada didalam
17 Boedi Harsono, Op.cit., hal 69.
18 Muhammad Yamin, Beberapa Dimensi Filosofis Hukum Agraria, Medan, Pustaka Bangsa
Press, 2003, hal. 41-42.
19 Soerjono Soekanto, Suatu Tinjauan Sosiologi Hukum Terhadap Masalah-Masalah Sosial,
Bandung, Alumni, 1982, hal. 21.
Universitas Sumatera Utara18
menguasai tanah dengan hak-hak tertentu, sanksi apa yang dihadapinya jika diabaikan
ketentuan-ketentuan yang bersangkutan, serta hal-hal lain yang berhubungan dengan
penguasaan dan penggunaan tanah yang dipunyai.20
Dalam rangka penyelenggaraan pendaftaran tanah tersebut maka diperlukan
Pejabat Pembuat Akta Tanah sebagai salah satu pelaksanaan pendaftaran tanah
dengan membuat akta PPAT, dimana akta PPAT merupakan salah satu sumber utama
kedalam rangka pemilharaan data pendaftaran tanah. Akta PPAT wajib dibuat
sedemikian rupa sehingga dapat dijadikan dasar yang kuat untuk pendaftaran
pemindahan hak dan pembebanan hak yang bersangkutan.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, peralihan tanah
dan benda-benda di atasnya dilakukan dengan akta PPAT. Pengalihan tanah dari
pemilik kepada penerima disertai dengan penyerahan yuridis (juridische levering),
yaitu penyerahan yang harus memenuhi formalitas undang-undang, meliputi
pemenuhan syarat; dilakukan melalui prosedur yang telah ditetapkan; menggunakan
dokumen; dibuat dihadapan PPAT.21
PPAT sebagai pejabat umum yang berwenang membuat akta-akta mengenai
pertanahan tentunya harus memiliki kemampuan dan kecakapan khusus dibidang
pertanahan agar akta-akta yang dibuatnya tidak menimbulkan permasalahan
dikemudian hari mengingat akta yang dibuatnya dapat digunakan sebagai alat bukti
telah terjadinya perbuatan hukum pengalihan hak.
20 Boedi Harsono, Op.cit., hal. 69.
21 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Harta Kekayaan, Cetakan I, Bandung, Citra Aditya
Bakti, 1994, hal. 55-56.
Universitas Sumatera Utara19
PPAT telah diberikan kewenangan oleh pemerintah untuk melaksanakan
sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah
dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas
satuan rumah susun yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data
pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu,22 sedangkan sebagian
lagi dari kegiatan pendaftaran tanah dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini Badan
Pertanahan Nasional.
Pendaftaran disini bukan merupakan syarat terjadinya pemindahan hak
karena pemindahan hak telah terjadi setelah dilakukan jual belinya dihadapan PPAT.
Dengan demikian jual beli tanah telah sah dan selesai dengan pembuatan akta PPAT
dan akta PPAT tersebut merupakan bukti bahwa telah terjadi jual beli, yakni bahwa
pembeli telah menjadi pemiliknya dan pendaftaran peralihan hak di Kantor Agraria
bukanlah merupakan syarat bagi sahnya transaksi jual beli tanah dan pendaftaran di
sini hanya berfungsi untuk memperkuat pembuktiannya terhadap pihak ketiga atau
umum.
23
Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud salah satunya adalah jual beli tanah
dengan dibuatkan akta jual beli tanah oleh PPAT yang merupakan transaksi yang
sering terjadi didalam kehidupan bagi setiap orang, tidak hanya untuk tempat tinggal
melainkan juga sebagai investasi atau bisnis yang harganya cenderung meningkat dari
waktu ke waktu, karena tanah semakin banyak dibutuhkan orang.
22 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat
Akta Tanah, Pasal 2 ayat 1.
23 Bachtiar Effendi, Kumpulan Tulisan tentang Hukum Tanah, Bandung, Alumni, 1993,
hal. 23.
Universitas Sumatera Utara20
Selain itu dalam membuat akta jual beli, PPAT harus memperhatikan
beberapa hal, yang juga merupakan kewenangannya yaitu:24
1. Kedudukan atau status penjual adalah pihak yang berhak menjual tanah.
2. Penjual adalah pihak yang berwenang menjual.
3. Pembeli adalah pihak yang diperkenankan membeli tanah.
Ketentuan mengenai administrasi akta PPAT sebagaimana disebutkan pada
Pasal 25 dan Pasal 26 Peraturan Pemerintah Nomor : 37/1998 dan Peraturan Menteri
Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor: 24/1997 tentang Pendaftaran
Tanah, yang menyatakan bahwa akta PPAT dibuat sebanyak dua lembar asli, satu
lembar disimpan di kantor PPAT dan satu lembar disampaikan kepada Kepala Kantor
Pertanahan untuk keperluan pendaftaran, sedangkan kepada pihak-pihak yang
bersangkutan diberikan salinannya.
2. Konsepsi
Konsepsi diartikan sebagai ”kata yang menyatukan abstraksi yang
digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus yang disebut defenisi operasional”.25
Soerjono Soekanto berpendapat bahwa, “kerangka konsepsi pada hakekatnya
merupakan suatu pengarah, atau pedoman yang lebih konkrit dari kerangka teoritis
yang seringkali bersifat abstrak, sehingga diperlukan defenisi-defenisi operasional
24 Effendi Perangin, Praktik Jual Beli Tanah, Cetakan Kedua, Jakarta, Rajawali, 1990,
hal. 2-7.
25 Samadi Surya Barata, Metodologi Penelitian, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1998,
hal. 28.
Universitas Sumatera Utara21
yang menjadi pegangan konkrit dalam proses penelitian.”26
Samadi Surya Brata memberikan arti khusus mengenai pengertian konsep,
yaitu sebuah konsep berkaitan dengan defenisi operasional, “konsep diartikan sebagai
kata yang menyatakan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus, yang
disebut dengan defenisi operasional”.27 Defenisi operasional perlu disusun, untuk
memberi pengertian yang jelas atas masalah, tidak boleh memiliki makna ganda.
Selain itu, konsepsi juga digunakan untuk memberikan pegangan pada proses
penelitian. Oleh karena itu, dalam rangka penelitian ini, perlu dirumuskan
serangkaian defenisi operasional atas beberapa variable yang digunakan. Selanjutnya,
untuk menghindari terjadinya salah pengertian dan pemahaman yang berbeda tentang
tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini, maka kemudian dikemukakan konsepsi
dalam bentuk defenisi operasional sebagai berikut:
1. Akibat hukum adalah akibat-akibat yang timbul karena adanya suatu perbuatan,
sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku. Misalnya, kesepakatan dua belah pihak
yang cakap, dapat mengakibatkan lahirnya perjanjian, yang merupakan akhir atau
hasil suatu peristiwa.28
2. Akta Otentik adalah akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undangundang, dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu
ditempat dimana akta dibuatnya.29
3. Jual Beli Tanah adalah sesuatu perjanjian dengan mana penjual mengikatkan
26 Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Op.cit., hal. 133.
27 Samadi Surya Barata, Op.cit, hal. 3.
28 http://www.wikipedia.com, Pengertian Akibat Hukum, diakses tanggal 31 Maret 2011.
29 Republik Indonesia, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, lembar negara Republik
Indonesia No.76 Tahun 1981, Pasal 1868.
Universitas Sumatera Utara22
 dirinya (artinya berjanji) untuk menyerahkan hak atas tanah yang bersangkutan
kepada pembeli dan pembeli mengikatkan dirinya untuk membayar kepada
penjual dengan harga yang telah disetujui.30
4. Sertifikat adalah surat tanda bukti hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat
(2) huruf c UUPA untuk hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik
atas satuan rumah susun dan hak tanggungan yang masing-masing sudah
dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan.31
5. Pejabat Pembuat Akta Tanah, selanjutnya disebut PPAT, adalah pejabat umum
yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan
hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah
Susun.32
6. Tata cara adalah aturan, kaidah, sistem dan susunan menurut ketentuan yang
berlaku.33
7. Akta PPAT adalah akta yang dibuat oleh PPAT sebagai bukti telah
dilaksanakannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak
Milik atas Satuan Rumah Susun.34
8. Kantor Pertanahan adalah unit kerja Badan Pertanahan Nasional di wilayah
Kabupaten atau Kotamadya, yang melakukan pendaftaran hak atas tanah
30 Republik Indonesia, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, lembar negara Republik
Indonesia No.76 Tahun 1981, Pasal 1457.
31 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, Pasal 1 angka 20.
32 Peraturan Pemerintah No.37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta
Tanah, Pasal 1 angka 1.
33 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1976, hal. 1457.
34 Peraturan Pemerintah No.37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta
Tanah, Pasal 1 angka 4.
Universitas Sumatera Utara23
 dan pemeliharaan daftar umum pendaftaran tanah.35
9. Para pihak adalah perorangan atau badan hukum yang melakukan perbuatan
hukum tertentu dihadapan PPAT, mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas
Satuan Rumah Susun.36
G. Metode Penelitian
Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam mengembangkan ilmu
pengetahuan yang terdapat dari literature buku-buku maupun ilmu teknologi. Hal
ini disebabkan, oleh karena penelitian bertujuan untuk mengungkapkan
kebenaran secara sistematika, metodologis, dan konsisten. Melalui proses penelitian
tersebut dilakukan analisa dan konstruksi terhadap data yang dikumpulkan dan
diolah.37
1. Spesifikasi Penelitian
“Sifat dari penelitian ini adalah deskriptif, artinya penelitian ini bertujuan
untuk menggambarkan secara cermat karakteristik dari fakta-fakta (individu,
kelompok atau keadaan), dan untuk menentukan frekuensi sesuatu yang terjadi”.38
Dengan penelitian yang bersifat deskriptif dimaksudkan untuk melukiskan keadaan
objek atau peristiwanya, kemudian menelaah dan menjelaskan serta menganalisa data
35 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah, Pasal 1 angka 23.
36 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Ketentuan
Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat
Akta Tanah, Pasal 1 ayat 9.
37 Soejono Soekanto dan Sri Mulyadji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tujuan Singkat,
Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1995, hal. 7.
38 Rianto Adi, Metode Penelitian Sosial dan Hukum, Jakarta, Garanit, 2004, hal. 58.
Universitas Sumatera Utara24
secara mendalam dengan mengujinya dari berbagai peraturan perundangan yang
berlaku maupun dari berbagai pendapat ahli hukum sehingga dapat diperoleh
gambaran tentang data faktual yang berhubungan dengan pembuatan akta jual beli
tanah bersertipikat yang tidak sesuai dengan tata cara pembuatan akta PPAT.
2. Metode Pendekatan
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan yang bersifat
yuridis empiris. Metode yuridis empiris dipergunakan untuk mendapatkan jawaban
dari permasalahan dengan melihat berbagai aspek yang terdapat dalam pembuatan
akta jual beli tanah bersertipikat yang dibuat oleh PPAT, sehingga akan diketahui
akibat hukum pembuatan akta jual beli tanah bersertipikat yang tidak sesuai dengan
tata cara pembuatan akta PPAT.
3. Lokasi, Populasi dan Sampel Penelitian
Lokasi penelitian dilakukan di Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara.
Populasi, adalah seluruh obyek atau seluruh individu atau seluruh, gejala/
kejadian atau seluruh unit yang diteliti. Populasi dalam penelitian ini adalah Pejabat
Pembuat Akta Tanah di Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara.
Populasi adalah seluruh PPAT di Kabupaten Langkat yang pada saat ini
berjumlah sebanyak 20 PPAT, karena untuk mengambil data tidak harus seluruh
populasi, maka ditetapkan hanya kepada sebanyak 10 PPAT. Penetapan sampel
dilakukan berdasarkan purposive sampling, yang artinya sampel telah ditentukan
dahulu berdasar objek yang diteliti. Teknik ini dipakai karena didasarkan pada
Universitas Sumatera Utara25
banyaknya akta yang dibuat oleh PPAT tersebut pada setiap bulannya dan selain itu,
karena alasan keterbatasan waktu, tenaga, dan biaya. Selanjutnya data yang diambil
dalam penelitian ini adalah pada 10 PPAT yang dijadikan sampel tersebut.
4. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini diperoleh dengan mengumpulkan data
primer dan data sekunder.
Data Primer dalam penelitian ini, akan dilakukan dengan cara wawancara
secara mendalam (deft interview) dilakukan secara langsung kepada responden dan
narasumber. Dalam hal ini, mula-mula diadakan beberapa pertanyaan untuk
mendapatkan keterangan lebih lanjut, sehingga dapat diperoleh jawaban yang
memperdalam data primer dan sekunder lainnya.
Data Sekunder adalah data yang diperoleh dari studi kepustakaan dengan
mempelajari :
1. Bahan Hukum Primer
yaitu bahan hukum berupa peraturan perundang-undangan, dokumen
resmi yang mempunyai otoritas yang berkaitan dengan permasalahan, yaitu
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-undang Nomor 5 Tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Keputusan Presiden
Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 1988 Tentang Badan Pertanahan
Nasional, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah dan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan
Universitas Sumatera Utara26
Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang
Pendaftaran Tanah, Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang
Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1999 Tentang
Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang
Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, Peraturan Kepala Badan
Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2006 Tentang
Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang
Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
2. Bahan Hukum Sekunder
yaitu “semua bahan hukum yang merupakan publikasi dokumen tidak resmi
meliputi buku-buku, karya ilmiah.”39
3. Bahan Hukum Tertier
yaitu bahan yang memberikan maupun penjelasan terhadap bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum,
jurnal ilmiah, majalah, surat kabar dan internet yang masih relevan dengan
penelitian ini.
5. Alat Pengumpulan Data
Alat pengumpulan data akan sangat menentukan hasil penelitian sehingga
apa yang menjadi tujuan penelitian ini dapat tercapai. Untuk mendapatkan hasil
39 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana Prenada Media Grup, 2005,
hal. 141.
Universitas Sumatera Utara27
penelitian yang objektif dan dapat dibuktikan kebenarannya serta dapat
dipertanggung jawabkan hasilnya, maka dalam penelitian akan dipergunakan alat
pengumpulan data.
Untuk memperoleh data yang diperlukan, maka dilakukan wawancara
terhadap para responden yang dilakukan secara langsung yaitu antara lain terhadap
Pejabat Pembuat Akta Tanah di Kabupaten Langkat.
6. Analisis Data
Data diperoleh diklasifikasikan yang selaras dengan permasalahan yang
dibahas dalam penelitian ini dengan tujuan untuk memperoleh jawaban yang
baik pula.40
Proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia yang
didapat dari penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Semua data yang
diperoleh terlebih dahulu diolah agar memberikan gambaran yang sesuai
kebutuhan, kemudian dianalisis dengan menggunakan metode analisis kualitatif,
dimana data-data diperlukan guna menjawab permasalahan, baik data primer
maupun data sekunder, dikumpulkan untuk kemudian diseleksi, dipilah-
pilah berdasarkan kualitas dan relevansinya untuk kemudian ditentukan
antara data yang penting dan data yang ditidak penting untuk menjawab
permasalahan.
40 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Jakarta, RajaGrafindo Persada, 2002,
hal. 106.
Universitas Sumatera Utara28
Kemudian data yang didapat tersebut dipilih dan disistematisasi berdasarkan
kualitas kebenaran sesuai dengan materi penelitian, untuk kemudian dikaji dengan
pemikian yang logis induktif, sehingga akan menghasilkan uraian yang bersifat
deskriptif, yaitu uraian yang menggambarkan permasalahan serta pemecahannya
secara jelas dan lengkap berdasarkan data-data yang diperoleh dari penelitian.
Sehingga hasil analisis tersebut diharapkan dapat menjawab permasalahan yang
diajukan.41
41 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Op.cit., hal. 32.
Universitas Sumatera Utara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar