karena pertumbuhan jumlah penduduk masih tinggi. Hama dan penyakit adalah salah satu kendala program peningkatan produksi padi. Kendala peningkatan produksi akan semakin kompleks akibat perubahan iklim global.
Hama dan penyakit padi merupakan salah satu cekaman biotik yang menyebabkan senjang hasil antara potensi hasil dan hasil aktual, dan juga menyebabkan produksi tidak stabil. Di Asia Tenggara hasil padi rata-rata 3,3 t/ha, padahal hasil yang bisa dicapai 5,6 t/ha. Senjang hasil tersebut disebabkan oleh penyakit sebesar 12,6% dan hama 15,2% (Oerke et al. 1994). Di Indonesia, potensi hasil varietas padi yang dilepas berkisar antara 5-9 t/ha (Suprihanto et al. 2006), sementara hasil nasional baru mencapai rata-rata 4,32 t/ha (BPS 2001).
Luas serangan hama dan penyakit padi berdasarkan kompilasi data Statistik Pertanian IV (SP IV 2006) oleh Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan, dalam kurun waktu lima tahun terakhir adalah tikus 152.638 ha/th, penggerek batang 89.048 ha/th, wereng coklat 26.542 ha/th, penyakit hawar daun bakteri 28.808 ha/th, penyakit tungro 13.327 ha/th dan blas 9.674 ha/th. Estimasi kehilangan hasil padi oleh hama dan penyakit utama mencapai 212.948 t GKP/musim tanam (Soetarto et al. 2001). Oleh sebab itu, keenam hama dan penyakit penting ini perlu mendapatkan prioritas penanganan. Kehilangan hasil tersebut jauh lebih rendah dari estimasi hasil survei di daerah tropis Asia yang memperkirakan mencapai 37% (IRRI 2002).
Usaha peningkatan produksi padi nasional secara berkelanjutan, khusus-nya melalui peningkatan stabilitas hasil, masih berpeluang besar melalui: 1) penggunaan sumber daya genetik untuk perbaikan ketahanan varietas tehadap hama dan penyakit, 2) peningkatan peran musuh alami hama dan pernyakit sebagai agens pengendali hayati, 3) pemanfaatan beragam spesies tanaman yang potensial sebagai pestisida nabati yang efektif dan ramah lingkungan, 4) penyempitan kesenjangan antara potensi hasil (hasil pada saat varietas dilepas) dengan hasil yang dicapai petani, 5) penekanan kehilangan hasil prapanen oleh hama dan penyakit masih di atas 15%, 6) peningkatan pemahaman epidemiologi penyakit dan ekologi hama yang akan menghasilkan komponen teknologi baru pengendalian hama terpadu (PHT).
Dalam tulisan ini diuraikan dinamika hama dan penyakit tanaman padi yang menyebabkan ketidakstabilan produksi padi, komponen teknologi pengendalian yang telah dikembangkan, konsep dan implementasi PHT di Indonesia, dan insentif (keuntungan) yang diperoleh dari penerapan PHT.
DINAMIKA HAMA DAN PENYAKIT
Populasi hama dan patogen penyebab penyakit tanaman padi sangat dinamis karena potensi genetik dan pengaruh lingkungan biotik dan abiotik. Pada dasarnya semua organisme yang dalam keadaan terkendali tidak merugikan jika keseimbangan ekologinya tidak terganggu.
Hama dan penyakit tanaman berasal dari lokasi pertanaman atau datang (migrasi) dari lokasi lain karena daya tarik tanaman padi. Pengetahuan tentang dinamika populasi hama dan patogen penyakit adalah langkah pertama yang perlu ditempuh untuk menentukan cara pengendalian yang efektif, efisien, dan ramah lingkungan.
Revolusi Hijau, Hama Penyakit Tanaman Padi,
dan Lingkungan
dan Lingkungan
Revolusi Hijau di Indonesia diawali oleh introduksi varietas padi unggul baru (VUB) IR5 dan IR8 yang responsif terhadap pemupukan, terutama nitrogen. VUB ini akan menghasilkan gabah 2-3 kali lipat lebih tinggi dari hasil varietas lokal kalau dipupuk urea pada takaran tinggi (200-300 kg urea/ha). Penanaman VUB berumur genjah sampai sedang dan rakus terhadap pemupukan memfasilitasi peningkatan intensitas tanam. Intensifikasi penanaman VUB secara terus-menerus mengalterasi fisiko-kimia tanah dan iklim mikro. Maka, timbullah biotipe baru hama dan patotipe baru patogen. Pengendaliannya lebih banyak menggunakan pestisida. Brigade-brigade pengendali hama dan penyakit dibentuk di area Bimas untuk menyemprot pestisida satu, dua, bahkan tiga kali dalam seminggu. Musuh alami hama ikut punah karena aplikasi pestisida yang berlebihan. Modernisasi teknologi mengakibatkan sistem produksi padi masuk ke dalam jebakan kompleksitas pengelolaan hama yang tidak terbayangkan sebelumnya (Tri Pranadji et al. 2005).
Intensifikasi produksi padi sawah untuk meningkatkan produksi agar dapat memenuhi kebutuhan beras yang terus meningkat ternyata menyebabkan degradasi lingkungan, antara lain polusi air (residu pestisida) dan udara (emisi gas metan) (Balingtan 2008). Konsentrasi residu pestisida dan agrokimia lain telah diidentifikasi pada perairan wilayah irigasi Jatiluhur (Fagi 2006) dan sentra-sentra produksi lain. Balai Penelitian Lingkungan Pertanian telah menginventarisasi residu pestisida di sentra-sentra produksi padi (Balingtan 2008). IRRI (1993) meneliti secara sistematis residu pestisida dan dampaknya terhadap kesehatan petani di Provinsi Laguna, Nueva Ecija, dan Quezon. Kesimpulan dari hasil penelitian itu, adalah:
• Residu nitrat ditemukan di dalam air sumur yang digunakan sebagai air minum; konsentrasi nitrat masih di bawah konsentrasi maksimum yang diizinkan (10 ppm).
• Perairan di Laguna mengandung residu carbofuran dan endosulfan; konsentrasi residu pestisida tersebut lebih rendah di Nueva Ecija, karena petani menggunakan pestisida tidak berlebihan.
Walaupun residu pestisida di sentra-sentra produksi terdeteksi di perairan dan bahkan di dalam butir beras di pasar-pasar induk, dampaknya terhadap kesehatan tidak dipelajari secara jelas. Di sentra-sentra produksi padi di Filipina, di mana petani menanam 2-3 kali padi dalam setahun, ditemukan bahwa (IRRI 1993):
• dari 152 petani padi, mereka yang sering menggunakan pestisida untuk mengendalikan hama menderita gangguan kesehatan dua kali lebih banyak dibanding dengan yang jarang menggunakan pestisida (Gambar 1),
• walaupun makin seringnya penyemprotan pestisida lebih menjamin keberhasilan intensifikasi padi, tetapi biaya yang dikeluarkan untuk menyembuhkan kesehatan itu lebih besar dari keuntungan yang diperoleh.
Selain hama wereng coklat, wereng hijau, penggerek batang dan penyakit hawar daun bakteri dan blas, hama tikus makin merajalela akibat modernisasi teknologi padi sawah dan padi gogo. Dengan modernisasi teknologi, keter-sediaan pakan makin memungkinkan reproduksi tikus meningkat dalam setahun.
Gambar 1. Perbandingan insiden penyakit yang diderita oleh petani yang sering menggunakan pestisida dan yang jarang menggunakannya di Laguna, Nueva Ecija dan Quezon, Filipina (IRRI 1993).
Faktor Penentu Dinamika Hama dan Penyakit
Musim Tanam
Pada musim kemarau, hama dan penyakit padi yang umumnya timbul berdasar- kan tingkat keparahannya adalah tikus, diikuti oleh penggerek batang, dan walang sangit. Oleh karena itu, langkah-langkah pengendalian dititikberatkan pada hama tikus.
Pada musim hujan, hama dan penyakit yang biasa timbul adalah tikus, wereng coklat, penggerek batang, lembing batu, penyakit tungro, blas, hawar daun bakteri, dan berbagai penyakit yang disebabkan oleh cendawan. Dalam keadaan khusus, hama dan penyakit berkembang di luar kebiasaan tersebut. Misalnya pada musim kemarau yang basah, wereng coklat dapat juga menjadi masalah bagi varietas rentan (Hendarsih et al. 1999).
Stadia Tanaman
Pada periode bera, larva penggerek batang berada di dalam singgang dan adakalanya singgang terinfeksi virus tungro, dan berbagai penyakit yang disebab-kan oleh bakteri. Di dalam jerami bisa juga terdapat sklerotia dari beberapa penyakit jamur. Tikus bisa berada di tengah-tengah tanaman lain atau bersembunyi di tanggul irigasi. Pada lahan yang cukup basah, keong mas juga dapat ditemukan. Semua hama dan penyakit pada saat bera bisa menjadi sumber hama dan penyakit pada pertanaman berikutnya.
Di persemaian dapat dijumpai tikus, penggerek batang, wereng hijau, bibit terinfeksi tungro, dan telur siput murbai.Hama dan penyakit pada stadia vegetatif adalah siput murbai, ganjur, hidrelia, tikus, penggerek batang, wereng coklat, hama penggulung daun, ulat grayak, lembing batu, tungro, penyakit hawar daun bakteri, dan blas daun. Pada stadia generatif biasanya ada tikus, penggerek batang, wereng coklat, hama penggulung daun, ulat grayak, walang sangit, lembing batu, tungro, penyakit hawar bakteri, blas leher dan berbagai penyakit yang disebabkan oleh cendawan.
Budi Daya Padi
Budi daya tanaman padi dalam usaha peningkatan produktivitas mem-pengaruhi keberadaan hama dan penyakit. Pengolahan tanah, pembersihan gulma dan singgang, pemupukan berimbang, pengaturan jarak tanam, pengairan, dan pemeliharaan ikan dapat mengurangi serangan beberapa hama dan penyakit padi. Pengairan berselang selain meningkatkan hasil panen juga mengurangi serangan penyakit padi. Namun bisa juga budi daya padi mempunyai pengaruh ganda yang berlawanan, yaitu pada satu sisi meningkatkan hasil panen, di sisi lain merangsang perkembangan hama dan penyakit. Introduksi varietas unggul di awal 1970 telah meningkatkan produksi padi yang tinggi, tetapi ledakan wereng coklat pada dekade 70an diduga terjadi karena adopsi varietas unggul yang peka terhadap wereng coklat dan responsif terhadap pemupukan (Mochida et al. 1980). Demikian juga ledakan penggerek batang padi putih pada dekade 90an, diduga disebabkan oleh luasnya pertanaman IR64 dan penyimpangan iklim (Hendarsih et al. 2000).
Musuh Alami
Pada pertanaman padi banyak sekali organisme berguna yang dapat menekan populasi hama dan patogen penyakit. Berbagai jenis laba-laba sangat berguna dalam memangsa berbagai serangga hama (Widiarta et al. 2001). Selain itu parasitoid berfungsi menekan peningkatan populasi hama serangga. Parasitoid telur wereng coklat Anagrus spp. danOligosita spp. berfungsi menekan ledakan wereng coklat secara alami. Selain itu di lapangan terdapat bakteri antagonis yang dapat menekan cendawan penyakit hawar pelepah daun (Sudir dan Suparyono 2000). Banyak entomopatogen yang secara tidak disadari ikut mengendalikan serangga hama, dan dapat dibiakkan untuk pengendalian secara hayati.
Tindakan Pengendalian
Pengendalian terhadap satu jenis hama dapat menimbulkan populasi yang asalnya tidak penting. Ledakan ganjur di Pantai Utara Jatiluhur pada tahun 1970an diduga karena gencarnya penyemprotan pestisida dari udara sejak 1968. Beberapa insektisida ternyata sangat toksik terhadap banyak fauna, termasuk musuh alami yang populasinya tertekan, sehingga populasi hama terus bertambah dan berubah menjadi hama yang resisten terhadap insektisida yang bersangkutan. Beberapa insektisida bukan saja berspektrum luas (broad spectrum) tetapi juga memicu perkembangan populasi (resurjensi). Hal tersebut terjadi pada wereng coklat, sehingga melahirkan Inpress No. 3 th 1986, tentang larangan 57 jenis insektisida. Adopsi varietas tahan adalah cara pengendalian yang paling aman terhadap lingkungan. Namun jika satu varietas tahan ditanam secara terus-menerus pada areal luas yang akan menyebabkan perubahan biotipe hama atau ras patogen penyakit. Untuk wereng coklat, perubahan biotipe menuju yang lebih ganas berlangsung sangat cepat, sebab kebanyakan varietas tahan diatur oleh gen monogenik. Tekanan terhadap populasi wereng sangat tinggi sehingga cepat berubah menjadi biotipe yang lebih virulen. Wereng hijau cepat beradaptasi dengan varietas baru sehingga dalam beberapa waktu musim tanam, varietas yang semula tidak tertular tungro menjadi rentan tungro, karena sifat ketahanan yang dimiliki adalah tahan wereng hijau. Varietas tahan blas cepat sekali menjadi rentan, karena ras blas di lapang cepat berubah dan menyesuaikan diri dengan varietas yang baru diintrodaksi. Luasnya pertanaman IR64 menyebabkan varietas ini diinfeksi parah oleh bakteri hawar daun. Dengan demikian diketahui bahwa pengendalian hama dan penyakit tidak bisa mengandalkan satu cara pengendalian.
Pola Tanam
Pada lahan beririgasi teknis, pengairan dapat diatur sehingga waktu tanam dapat ditentukan dan waktu tanam menjadi serempak. Tanam serempak dapat mengurangi serangan berbagai hama dan penyakit. Pengendalian tungro dengan waktu tanam tepat dan pergiliran varietas tahan dapat diterapkan pada lahan pertanaman serempak seperti di Sulawesi Selatan (Sama et al. 1991). Pada lahan yang penanamannya tidak serempak, pertanaman musim hujan setelah kekeringan paling rawan terhadap eksplosi hama dan penyakit, terutama setelah pertanaman MK II. Hama dan penyakit yang berpotensi eksplosif pada musim hujan setelah kekeringan adalah wereng coklat dan tungro. Kegagalan pengendalian tikus pada dua musim tanam sebelumnya akan memperparah serangan tikus pada musim hujan. Apabila dilakukan penanaman pada MK II maka akan terjadi akumulasi populasi. Pada kondisi tersebut keberhasilan pengendalian tikus pada musim hujan (sebelum MK I) berdampak terhadap keberhasilan pengendalian tikus pada MK I dan MK II, kemudian berlanjut pada musim hujan. Jika pengendalian tikus pada awal musim hujan sebelum kekeringan kurang baik, akan menyebabkan kegagalan berantai sampai musim hujan setelah kekeringan.
Di beberapa tempat, walaupun beririgasi teknis karena alokasi air yang terbatas atau kelompok tani kurang berjalan, waktu tanam menjadi tidak serempak. Pada pola tanam tidak serempak, hama yang perlu diamati adalah tikus, terutama pada musim kemarau. Ketidakserempakan tanam memberikan kesempatan bagi tikus untuk bereproduksi (breeding period) dalam waktu yang lebih panjang. Selain itu, pengendalian tungro dengan pergiliran varietas berdasarkan ketahanan terhadap wereng hijau kurang berhasil karena selalu ada tanaman yang muda, tempat wereng hijau berkembang menularkan virus tungro.
IMPLIKASI DARI KONSEP PHT
Konsep PHT muncul sebagai tindakan koreksi terhadap kesalahan dalam upaya pengendalian hama. Sejak ditemukannya pestisida sintetik pada tahun 1940an (Muller and Borger 1946), penggunaan pestisida sangat intensif untuk me-ngendalikan hama. Penggunaan pestisida yang intensif memang telah mem-berikan kontribusi terhadap peningkatan produksi pertanian, tetapi juga berdampak negatif, yaitu menimbulkan resisten dan resurjen beberapa jenis hama, mematikan organisme bukan sasaran, termasuk musuh alami hama, dan residu pestisida yang berbahaya terhadap kesehatan manusia dan ternak. Konsep PHT dicetuskan dalam panel ahli FAO di Roma pada tahun 1965 (FAO 1966). PHT adalah suatu sistem pengendalian hama berdasarkan pemahaman terhadap dinamika populasi dan lingkungan suatu jenis hama, menggunakan berbagai teknik pengendalian yang kompatibel untuk menjaga agar populasi hama di bawah ambang yang menyebabkan kerusakan yang bernilai ekonomi. Beberapa jenis hama hanya dapat dikendalikan dengan baik perpaduan komponen teknik pengendalian.
Kelestarian lingkungan mendapat perhatian dari pemimpin dunia dalam the World Food Summit yang diselenggarakan oleh FAO di Roma, Italia, pada 13-17 November 1996. Deklarasi Revolusi Hijau Baru (the New Green Revolution) disertai catatan bahwa pelaksanaannya pada lahan marjinal harus memper-hatikan lingkungan dengan belajar ke Revolusi Hijau pertama (FAO 1996). Bank Pembangunan Asia mendukung gagasan Revolusi Hijau Baru dengan me-nambahkan kata greener (ADB 2000). Bagaimana mengimplikasikan the Greener Green Revolution itu?
Jauh sebelum the World Food Summit diselenggarakan, ilmuwan mulai memperhatikan dampak penggunaan pestisida yang berlebihan dan tidak aman terhadap kesehatan manusia. Konsep PHT ditawarkan sebagai metode pengendalian hama penyakit (pest) yang lebih murah dan aman. Strategi PHT memerlukan keilmuan yang mengendalikan kombinasi antara penelitian strategis dan terapan untuk menginvestigasi faktor ekologis yang mem-pengaruhi hama penyakit, merancang, dan mengevaluasi metode pengendalian baru (IRRI 1993). Penerapan PHT juga bergantung pada partisipasi petani dan kebijakan pemerintah. Sebab itu, penerapan PHT dilakukan dengan Sekolah Lapang PHT (SL-PHT).
Persepsi tentang PHT
PHT diintroduksi ke Indonesia dalam program Bimas pada MT 1976, karena serangan wereng coklat pada MT 1975. Sejak saat itu PHT mulai diwacanakan, karena implementasi konsep PHT masih belum jelas dan masih dalam validasi di lapang. Penerapan PHT pada MT 1986 dimulai dengan pencabutan izin peredaran beberapa pestisida, dan pencanangan Supra Insus dengan 10 jurus paket D-nya, yaitu: (1) penanaman VUB, (2) penggunaan benih bersertifikat, (3) pengolahan tanah sempurna, (4) populasi tanaman 200.000/ha, (5) pengairan yang cukup, (6) pemupukan berimbang, (7) pemberian pupuk pelengkap cair (PPC) atau zat pengatur tumbuh (ZPT), (8) penerapan PHT, (9) pola tanam yang sesuai, dan (10) pengelolaan pascapanen yang baik. Bahkan, 10 jurus paket D itu dipandang sebagai teknologi PHT itu sendiri (komunikasi pribadi dengan Dudung A. Adjid, mantan Direktur Jenderal Tanaman Pangan).
Para entomologis dan fitopatologis menetapkan lima strategi PHT, yaitu: (1) sanitasi lingkungan di sekitar pertanaman, (2) penggunaan VUB tahan hama penyakit, (3) penanaman serempak, (4) penerapan pola tanam (untuk me-mutus siklus hidup hama dan patogen penyebab penyakit, dan (5) penggunaan pestisida secara bijaksana. Dalam pelaksanaannya, PHT kemudian disalahartikan identik dengan zero pesticides, karena pemberian pestisida secara bijaksana tidak diajarkan dalam SL-PHT. Pengertian bahwa PHT identik dengan zero pesticide tidak relevan dengan kenyataan di lapang. Kalau penanaman serempak pada waktu yang tepat dimaksudkan agar stadia kritis tanaman padi jatuh pada saat populasi musuh alami tinggi, waktu tanam di lapang ditentukan oleh golongan tanam (golongan alokasi air irigasi). Kalau suatu kawasan mendapat jatah air pada saat puncak penerbangan ngengat, penanaman akan berisiko, terutama jika populasi musuh alami penggerek batang rendah. Sampai saat ini belum ada varietas padi yang tahan terhadap penggerek batang. Dalam keadaan demikian, pestisida harus disemprotkan dengan memperhatikan ambang kendali penggerek batang.
Keterkaitan antara komponen 10 jurus paket D dengan komponen strategi PHT ditunjukkan dalam Tabel 1. Dalam 10 jurus paket D hanya penanaman VUB dan pola tanam yang identik dengan komponen strategi PHT. Penggunaan benih bersertifikat dan pengelolaan pascapanen yang baik secara tidak langsung berkaitan dengan kualitas benih dan kemurnian VUB. Pengolahan tanah sempurna secara tidak langsung memfasilitasi penanaman serempak. Pemupukan dan pengairan cukup akan membuat tanaman padi kuat menghadapi ancaman penyakit. Populasi tanaman dengan penanaman yang ditata seperti tegel dimodifikasi dengan penanaman menurut jajar legowo. Cara tanam demikian membuat tanaman lebih terbuka, permukaan kanopi tidak rata dan tiupan angin menimbulkan turbulan, sehingga iklim mikro diperkirakan menjadi kurang sesuai bagi perkembangan patogen penyebab penyakit.
Tabel 1. Keterkaitan antara komponen 10-jurus paket-D dengan komponen strategi PHT.
| Strategi PHT | |||||
Komponen 10-jurus paket-D | Sanitasi | Penanaman VUB | Penanaman serempak | Penerapan pola tanam | Penggunaan pestisida (bijaksana) | |
1. | Penanaman VUB | | VVV | | | |
2. | Penggunaan benih bersertifikat | | VV | | | |
3. | Pengolahan tanah sempurna | V | | V | | |
4. | Populasi tanaman ³ 200.000 per ha | | V | | | |
5. | Pengairan cukup | | V | | | |
6. | Pemupukan berimbang | | V | | | |
7. | Pemberian PPC atau ZPT | | V | | | |
8. | Penerapan PHT | VVV | VVV | VVV | VVV | VVV |
9. | Pola tanam yang sesuai | | | | VVV | |
10. | Pengelolaan pasca panen yang baik | | V | | | |
VVV = keterkaitan kuat
VV = keterkaitan sedang
V = keterkaitan lemah
Implikasi dalam Penelitian
Karakterisasi Kendala Hama Penyakit
Hama utama yang menjadi kendala intensifikasi padi adalah tikus, penggerek batang, wereng coklat, dan wereng hijau (vektor penyakit tungro). Penyakit utama adalah hawar daun bakteri, tungro, dan blas pada padi gogo. Di dalam setiap daerah geografis di mana pengelolaan hama penyakit akan diperbaiki atau PHT akan diterapkan, perlu karakterisasi dan diketahui domain penelitian dan pengembangan, dan selanjutnya untuk ekstrapolasi teknologi. Karakterisasi juga perlu untuk mengumpulkan data lapang yang reliabel dan representatif, pendekatan yang umum untuk mengumpulkan data dari contoh yang ditetapkan dalam survei.
Survei adalah cara untuk mengkarakterisasi kendala produksi, yang berisi informasi tentang sistem perlindungan tanaman. Sistem produksi tanaman padi adalah kompleks sehingga banyak indikator yang perlu dikarakterisasi. Setiap lahan pertanaman padi dapat dipandang sebagai kenyataan yang unik dari kombinasi banyak penanda. Penanda itu termasuk tanaman, lingkungan biofisik, hama penyakit dan petaninya, yang pengelolaan atau aktivitasnya mempengaruhi seluruh sistem produksi tanaman. Di antara penanda yang penting adalah (Savary et al. 1996):
• Situasi dari produksi ~ menggambarkan pengaruh faktor-faktor fisik, biologis dan sosial-ekonomi terhadap produksi.
• Kerusakan dan kehilangan ~ kerusakan adalah fakta yang dapat diukur karena aktivitas biologis hama penyakit.
• Potensi hasil yang dapat dicapai dan hasil aktual ~ potensi adalah hasil yang diberikan oleh genotipe tanaman dalam keadaan lingkungan yang optimal, tetapi di lapang dihambat oleh ketersediaan air, pemupukan, cahaya matahari atau suhu yang bersifat suboptimal bagi proses fisiologi tanaman.
• Presisi vs akurasi ~ pengukuran harus teliti dan akurat; standar deviasi sekitar 20% adalah normal dicapai dalam survei tanaman biji-bijian.
Protokol survei supaya disiapkan sebelum berangkat, dan dipahami oleh semua petugas survei (enumerator). Tujuan pembuatan protokal, adalah:
(1) mengkarakterisasi pola pertanaman untuk mendapatkan secara garis besar deskripsi yang wajar tentang situasi produksi,
(2) mengkarakterisasi kombinasi hama penyakit yang mungkin dijumpai di lokasi survei,
(3) menentukan keterkaitan antara situasi produksi dan insiden yang diakibatkan oleh hama penyakit,
(4) menentukan cara mengatasi masalah dan kendala yang disebabkan oleh kombinasi hama-penyakit yang menyebabkan variasi dari hasil aktual.
Dari hasil survei ini ditentukan secara hipotesis komponen strategi PHT yang paling diperlukan untuk menentukan jenis dan lokasi pengembangan hama penyakit.
Penekanan Potensi Epidemis Penyakit
Dari hasil survei akan diketahui sebaran penyakit dan potensi epidemisnya. Di antara penyakit yang potensi epidemisnya harus diwaspadai adalah tungro. Jadi, epidemiologi adalah satu bidang studi PHT (IRRI 1993).
Tungro muncul lebih awal, tetapi cepat tersebar dengan insiden penularan yang lebih besar dan luas pada musim hujan dibanding musim kemarau. Inokulum primer berpengaruh nyata terhadap dinamika penyakit ini. Pencabutan tanaman sakit dan menggantinya dengan tanaman sehat tidak mengurangi insiden penyakit. Cara yang praktis untuk mengurangi penyakit tungro adalah pergiliran varietas dan penanaman varietas tahan virus tungro.
Ketahanan terhadap Hama Penyakit
Tanaman yang secara genetik tahan terhadap hama penyakit disebut host plant resistance, yaitu faktor kunci dalam mengurangi penggunaan pestisida dalam reproduksi padi (IRRI 1993).
Populasi hama penyakit berubah dari waktu ke waktu, sementara daya tahan varietas secara genetik bisa turun, sedangkan biotipe hama dan patotipe penyakit dapat menyesuaikan diri dengan ketahanan varietas yang baru dilepas. Oleh sebab itu, pemuliaan padi tidak akan pernah berhenti untuk mengantisipasi dinamika populasi hama penyakit. Jadi, pemuliaan adalah bagian dari penelitian yang berwawasan PHT. Gambar 2 adalah contoh menurunnya hasil IR8 setelah 5-6 tahun dilepas. Persilangan dengan varietas lain untuk memperbaiki daya tahan IR8 menghasilkan varietas-varietas baru, sehingga mengembalikan potensi genetik yang diwariskan IR8.
Gambar 2. Hasil gabah IR8 turun dari sejak dilepas, tetapi dikembalikan lagi ke potensi hasil awal melalui pemuliaan tanaman, varietas yang dihasilkan diberi hama baru (IRRI 1993)
KOMPONEN TEKNOLOGI PENGENDALIAN
Teknologi yang dapat digunakan untuk mengendalikan hama penyakit padi telah banyak dihasilkan. Namun tidak semua teknologi tersebut dapat diterap-kan pada satu atau semua jenis hama penyakit pada berbagai agroekosistem padi. Berikut diuraikan komponen teknologi pengendalian yang telah dihasilkan di Indonesia untuk mengendalikan hama penyakit padi.
Varietas Tahan
Varietas tahan yang telah dirakit untuk padi sawah adalah varietas tahan wereng coklat, penyakit tungro dan hawar daun bakteri (Suprihatno et al. 2006). Untuk padi lahan kering hanya tersedia varietas tahan penyakit blas. Sumber gen tahan dari beberapa tetua yang tahan terhadap wereng coklat, wereng hijau, penyakit tungro, penyakit hawar daun bakteri dan penyakit blas telah diketahui, Ketahanan varietas padi diseleksi dengan menggunakan cara yang baru. Buku Standard Evaluation System (SES) For Rice (IRRI 1996) digunakan untuk mengukur tingkat ketahanan varietas di rumah kaca atau di lapang.
Varietas Tahan Hama
Varietas tahan wereng coklat yang dilepas disebut dengan varietas unggul tahan wereng coklat (VUTW) dan varietas tahan wereng hijau (Suprihatno et al. 2006). Varietas tahan wereng coklat dirakit dengan menggunakan tetua yang sudah diketahui gen ketahanannya, seperti gen tahan Bph1 (Mudgo, IR26), bph2 (ASD7), bph3 (Rathu Heenati, PTB33), dan bph4 (Babawe) (Baehaki 1999). Varietas tahan wereng hijau dikelompokkan berdasarkan sumber gen tetua tahannya menjadi T1, T2, T3, dan T4 (Sama et al. 1991). Gen tahan yang dimiliki oleh kelompok varietas T1, T2, T3, dan T4 berturut-turut adalah gen Glh1, Glh6, Glh5, dan Glh4.
Varietas Tahan Penyakit
Varietas tahan penyakit tungro dikelompokkan ke dalam varietas yang tahan terhadap wereng hijau sebagai penular (vektor) patogen, dan varietas yang tahan terhadap virus yang merupakan patogen penyebab penyakit tungro (Imbe 1991). Lima varietas tahan virus tungro yang telah dilepas adalah Tukad Petanu, Tukad Unda, Tukad Balian, Kalimas, dan Bondoyudo (Widiarta dan Daradjat 2000). Varietas tahan penyakit hawar daun bakteri seperti Angke dan Code sudah lebih jelas sumber gen tahannya. Varietas Cirata paling peka dengan intensitas penularan penyakit blas mencapai 73,8%. Varietas lainnya seperti Way Rarem, Jatiluhur, dan Towoti, intensitas penularan blas lebih rendah.
Wereng coklat, patogen blas, dan hawar daun bakteri memiliki kemampuan adaptasi yang cepat terhadap varietas tahan. Wereng coklat beradaptasi membentuk biotipe baru, sedangkan patogen penyakit membentuk ras/patotipe baru yang lebih ganas.
Budi Daya/Pola Tanam
Waktu Tanam Tepat
Tanam pada saat yang tepat dimaksudkan untuk membuat tanaman terhindar dari serangan pada stadia tanaman peka. Waktu tanam tepat digunakan untuk mengendalikan penyakit tungro (Sama et al. 1991). Tanaman padi diketahui peka terhadap infeksi virus tungro pada saat berumur kurang dari satu bulan setelah tanam. Dengan mengamati pola fluktuasi populasi wereng hijau dan intensitas penularan tungro sepanjang tahun, akan diketahui saat-saat ancaman paling serius tertular penyakit tungro. Waktu tanam diatur agar pada saat ancaman tungro serius, tanaman sudah berumur lebih dari satu bulan. Waktu tanam tepat tidak efektif mengendalikan penyakit tungro di daerah dengan pola tanam tidak serempak seperti di Bali.
Tanam Serempak
Tanam serempak dapat memperpendek waktu keberadaan sumber inokulum atau waktu perkembangbiakan. Tanam serempak mengurangi sumber tanaman sakit dan membatasi waktu berkembang biak vektor penular patogen. Waktu tanam serempak berhasil mengendalikan luas penularan tungro di Sulawesi Selatan. Di daerah tanam serempak, tikus hanya mempunyai waktu berkembang biak sekali dalam satu musim tanam, yaitu menjelang stadia primordia. Untuk mengurangi penularan penyakit tungro, tanaman serempak dianjurkan minimal untuk luasan 20 ha berdasarkan gradasi penyebaran penyakit (disease gradient) dari satu sumber inokulum (Widiarta et al. 1997a). Untuk tikus minimal 40 ha berdasarkan halow effect, yaitu areal yang dapat diproteksi dari serangan tikus oleh satu unit trap barrier systems(TBS) (Sudarmaji 2007).
Sanitasi
Serangga atau patogen penyebab penyakit dapat berkembang pada gulma, singgang, dan bibit padi yang tumbuh dari ceceran gabah saat panen (voluntir) pada saat tidak ada tanaman padi. Wereng coklat hanya dapat berkembang dengan baik pada tanaman padi, singgang, dan voluntir. Wereng hijau spesies N. virescens yang paling efisien sebagai vektor virus-virus tungro juga dapat melengkapi siklus hidupnya dengan baik hanya pada tanaman padi. Perkembangan wereng hijau spesies lainnya seperti N. nigropictus dan N. malayanus lebih baik pada gulma. Virus tungro di samping dapat menginfeksi padi, juga bisa menginfeksi gulma (Anjaneyulu et al. 1988, Yulianto dan Hasanuddin 1997).
Tabur Benih Langsung
Untuk menanam benih padi langsung (tabela), petakan sawah dibersihkan dan diratakan terlebih dahulu sebelum benih ditebar. Dengan demikan, inokulum tungro telah berkurang pada awal pertumbuhan tanaman. Tabela akan lebih efektif mengurangi perkembangan tungro bila tanam serempak minimal 20 ha. Tabela yang tidak serentak dalam hamparan akan menjadikan tanaman padi yang ditanam paling lambat mendapat akumulasi vektor maupun maupun inokulum tungro. Petani di beberapa daerah di Sulawesi Selatan telah mempraktekkan tabela, namun karena waktu tabur yang tidak bersamaan, maka penularan tungro tetap meluas.
Jarak Tanam
Sebaran tanaman diatur dalam jarak tanam. Jarak tanam padi ada dua jenis, yaitu jarak tanam sama sisi (tegel) dan jarak tanam yang setiap 2-4 baris tanaman dibiarkan kosong satu baris yang populer disebut tanam jajar legowo. Tanam jajar legowo menyebabkan kondisi iklim mikro di bawah kanopi tanaman kurang mendukung perkembangan patogen. Pada tanaman padi jajar legowo, wereng hijau kurang aktif berpindah antarrumpun, sehingga penyebaran tungro terbatas (Widiarta et al. 2003). Tikus lebih senang merusak tanaman padi yang berada di tengah petakan, pada pertanaman jajar legowo, semua tanaman berada di pinggir, sehingga tikus kurang betah tinggal di petakan demikian. Penularan penyakit hawar daun bakteri juga berkurang pada pertanaman padi jajar legowo.
Pemupukan Berimbang
Pemupukan berimbang dimaksudkan memberikan nutrisi makro yang dibutuhkan, khususnya nitrogen, sesuai dengan kebutuhan tanaman, sedangkan pupuk fosfat (P) dan kalium (K) berdasarkan kondisi hara tersebut di dalam tanah. Pemupukan berimbang disebut juga pemupukan spesifik lokasi, karena anjuran takaran pupuk yang berbeda antarlokasi bergantung pada kebutuhan tanaman akan hara dan hara yang tersedia. Kebutuhan tanaman akan unsur nitrogen dapat diketahui dengan bagan warna daun (BWD), sedangkan status hara P dan K dapat diketahui dengan perangkat uji tanah sawah. Penetapan kebutuhan unsur makro dapat juga diestimasi dengan petak omisi. Pemupukan dengan urea yang berlebihan menyebabkan tanaman disukai oleh wereng coklat dan oleh beberapa jenis penyakit seperti hawar daun bakteri (Suparyono et al. 1990).
Pengairan
Regim air di permukaan petakan sawah mempengaruhi kelembaban di bawah kanopi. Nimfa wereng coklat tidak dapat tumbuh dengan baik pada kelembaban di bawah kanopi kurang dari 60% (Isichaikul et al. 1994). Pengeringan sawah dapat meningkatkan kematian nimfa wereng coklat. Akan tetapi, bila tanaman padi tertular penyakit tungro, pengeringan sawah akan mendorong wereng hijau untuk berpindah tempat. Pengeringan sawah yang terkena tungro akan mempercepat penyebaran penyakit (Widiarta et al. 2003). Dengan demikian, dampak pengairan terhadap serangan hama penyakit sangat bergantung pada jenisnya.
Pergiliran Varietas
Pergiliran varietas akan memperpanjang masa ketahanan varietas terhadap wereng coklat, wereng hijau, atau penyakit yang disebabkan oleh patogen yang mudah berubah ras/patotipenya. Dengan demikian, tekanan terhadap frekuensi seleksi akan berkurang. Varietas tahan wereng hijau dikelompokkan berdasarkan sumber tetua tahan. Varietas tahan wereng coklat dikelompokkan berdasarkan ketahanannya terhadap biotipe tertentu. Varietas digilir antarmusim tanam dan berdasarkan status biotipe. Begitu pula pergiliran varietas untuk pengendalian wereng coklat, dilakukan berdasarkan status biotipe. Di masa mendatang, selain pergiliran varietas, prospek pertanaman multivarietas (mosaik), strip planting, maupun campuran varietas perlu dikaji untuk mengurangi tekanan seleksi. Dari kedua teknik tersebut, pertanaman multivarietas dan strip planting secara teknis lebih mudah diterapkan. Pertanaman padi gogo di Lampung dengan menggunakan 3-5 varietas ternyata dapat menekan serangan blas, sehingga hasil panen mencapai 5,14 t/ha selama tiga musim tanam dari MH 2002/03 sampai MH 2004/05
Rotasi Padi dengan Palawija
Tanam berurutan padi dan palawija akan memutus siklus hama seperti wereng coklat dan wereng hijau, karena kedua hama tersebut hanya tumbuh dengan baik pada tanaman padi. Beberapa musuh alami memiliki inang atau mangsa jenis hama padi maupun palawija. Pertanaman palawija setelah padi yang disebut integrasi tanaman padi - palawija memberikan tempat berlindung bagi musuh alami saperti laba-laba (Baehaki et al. 2007). Perkembangan musuh alami biasanya lebih lambat dari hama pada stadia awal tanaman padi. Adanya tempat berlindung dan sumber mangsa selama tidak ada tanaman padi di lapang akan meningkatkan populasi musuh alami pada stadia awal tanaman padi.
Pengendalian secara Fisik
Lampu Perangkap
Banyak jenis serangga seperti wereng, penggerek batang, ganjur, lembing batu tertarik cahaya, sehingga berkumpul di sekitar cahaya lampu. Apabila di bawah lampu diletakkan cawan penampung air, serangga yang tertarik terhadap cahaya lampu akan terperangkap di dalam tempat cawan tersebut (Hendarsih et al. 2000). Kematian serangga yang terperangkap dapat dipercepat dengan menambahkan insektisida atau diterjen pada air perangkap .
Pagar Plastik, Bubu Perangkap dan Tanaman Perangkap
Pagar plastik telah biasa dipakai oleh petani untuk melindungi pesemaian dan tanaman padi. Pagar plastik hanya berfungsi menghalangi atau mengarahkan masuk ke bubu perangkap. Pagar plastik tidak mengurangi populasi tikus tetapi berfungsi sebagai pengendali populasi apabila dilengkapi dengan bubu perangkap.
Bubu perangkap digunakan untuk menangkap tikus hidup, menggunakan prinsip bubu untuk menangkap ikan pada lubang masuk yang menghalangi tikus untuk keluar. Bubu perangkap digunakan satu paket dengan pagar plastik dan tanaman perangkap yang disebut TBS (Sudarmaji 2007). Satu unit TBS dapat melindungi pertanaman seluas 40 ha, bila tidak ada migrasi tikus dari luar.
Tanaman perangkap salah satu paket dalam TBS yang merupakan banyak digunakan untuk menarik tikus. Tikus diketahui paling tertarik pada fase reproduktif. Agar perangkap berfungsi sebagai perangkap, tanaman harus ditanam lebih awal dari tanaman padi lain di hamparan. Tanaman padi aromatik lebih menarik tikus, tapi lebih kuat daya tarik tanaman yang telah memasuki fase primordia, baik yang aromatik maupun yang bukan aromatik.
Perangkap lekat
Selain cahaya, warna dan feromon juga dapat digunakan sebagai penarik serangga. Perangkap lekat adalah lem yang dilumurkan pada kertas warna atau tempat meletakkan dispenser feromon penarik serangga (Hendarsih et al. 2000). Perangkap lekat lebih banyak digunakan untuk estimasi kepadatan populasi daripada pengendalian hama padi dan untuk mengestimasi populasi hama yang sulit dilihat tanpa menggunakan alat pembesar seperti thrips atau tungau.
Pengendalian secara Biologi
Parasit/Parasitoid
Parasit adalah arthropoda yang seluruh fase pertumbuhannya dilalui pada inang. Parasit ada yang tumbuh di dalam atau di luar inang. Parasitoid adalah parasit yang hanya pada fase nimfa/larva hidup pada inangnya, sedangkan pada fase imagonya hidup di luar inang dari madu atau tepung sari (DeBach et al. 1971). Jenis parasit Trichogramma telah dikembangkan dan dapat dibiakkan secara massal pada inang alternatifnya, untuk mengendalikan penggerek batang padi.
Patogen
Patogen menginfeksi serangga (entomopathogent) sampai mati. Tiga jenis patogen serangga yaitu jamur, bakteri, dan virus. Patogen dari jenis jamur yang dapat diperbanyak untuk mengendalikan wereng coklat, wereng hijau, dan lembing batu adalah Metarhizium dan Beuveria (Widiarta dan Kusdiaman 2002 Baehaki dan Kertohardjono 2003).Patogen dari jenis virus (nucleus poly-hydrosis virus=NPV) dapat digunakan untuk mengendalikan ulat grayak (Arifin et al. 2005).
Predator
Predator mematikan serangga dengan cara memakan (menggigit-mengunyah) adalah dari jenis laba-laba, dan yang mengisap adalah dari jenis kepik. Jenis predator yang diandalkan untuk mengendalikan wereng adalah dari jenis laba-laba (Lycosa), dan kepik (Cyrtorhinus, Microvelia). Laba-laba sulit dibiakkan secara massal karena sifatnya yang kanibal. Predator dari jenis kepik dapat diperbanyak, sehingga dapat dilepas dengan teknik inundasi. Walaupun demikian, disarankan untuk mengkonservasi bila ingin meningkatkan peran predator (Widiarta et al. 2001). Predator ini dapat dikonservasi dengan rotasi padi dengan palawija, menaruh mulsa jerami pada pematang atau membersihkan pematang setelah tanaman umur 1 bulan atau secara selektif bagi gulma yang berfungsi sebagai inang alternatif saja.
Pengendalian secara Kimiawi
Feromon
Serangga betina dewasa berkomunikasi dengan jantan dewasa menggunakan eksresi bahan kimia dari tubuh yang disebut feromon. Feremon sangat spesifik, hanya untuk spesies yang sama. Serangga betina mengekresikan feromon untuk menarik serangga jantan. Feromon akan menuntun jantan untuk menemukan betina. Karena sifatnya yang dapat menarik serangga jantan, feromon dapat digunakan untuk menangkap massal serangga jantan atau untuk mengacaukan proses perkawinan. Penggunaan feromon buatan mengecoh serangga jantan sehingga mengacaukan perkawinan. Karena itu kopulasi alami tidak terjadi atau terganggu (mating disruption). Feromon hama padi yang telah teridentifikasi adalah untuk tiga spesies penggerek batang (Hendarsih et al. 2000).
Pestisida Nabati
Ekstrak tanaman tembakau dan akar tuba dapat digunakan sebagai pestisida nabati. Tanaman lain yang dapat digunakan sebagai insektisida nabati adalah nimba dan sambilata (Mariappan et al. 1983 Widiarta et al. 1997). Bahan nabati yang dapat digunakan untuk mengendalikan keong (molukisida nabati) adalah rerak, ekstrak biji teh.
Fungisida
Fungisida digunakan untuk mengendalikan penyakit yang disebabkan oleh jamur. Penggunaan fungisida untuk mengendalikan penyakit tanaman padi lebih berkembang dibandingkan dengan bakterisida untuk mengendalikan penyakit padi yang disebabkan oleh bakteri (Sudir dan Suparyono 1999).
Pestisida Sintetis
Insektisida sintetis paling dikenal dan digunakan secara luas untuk mengendalikan hama serangga. Insektisida diandalkan untuk menekan populasi dalam waktu yang relatif singkat, petani sangat menyukainyasehingga, penggunaan pestisida tidak rasional.
Penggunaan insektisida yang tidak rasional dapat menyebabkan hama lebih tahan (resisten) terhadap insektisida, bahkan populasinya bertambah setelah aplikasi (resurjen) (Chelliah et al. 1980). Untuk membunuh serangga yang telah tahan, diperlukan dosis yang lebih tinggi. Resurjen terjadi karena perubahan fisologis serangga sehingga keperidiannya meningkat, atau secara ekologis karena musuh alaminya berkurang.
Rodentisida
Rodentisida digunakan untuk meracuni tikus, diformulasi dalam bentuk yang telah dicampur dengan umpan atau terpisah (Sudarmaji 2007). Daya racun rodentisida ada yang dapat langsung mematikan tikus (racun akut) pada saat memakan dan ada yang perlu waktu beberapa hari untuk mematikan tikus (antikuagulan).
Fumigan
Bahan kimia dalam bentuk uap atau asap digunakan untuk membunuh hama atau serangga di gudang penyimpanan atau tikus dalam lubang. Untuk menghembuskan asap ke dalam lubang tikus digunakan alat yang disebut emposan (Sudarmaji 2007).
Monitoring
Pengamatan perkembangan hama atau penyakit sangat membantu dalam penetapan langkah pengendalian yang tepat waktu, tepat sasaran, efektif, dan efisien. Sebagai indikator perkembangan hama penyakit dikembangkan ambang kendali atau ambang ekonomi. Ambang kendali atau ambang ekonomi adalah kepadatan populasi atau tingkat serangan hama penyakit yang apabila tidak di kendalikan akan menyebabkan kerusakan pada tanaman padi yang secara ekonomi berarti. Ambang kendali/ekonomi beberapa hama penyakit padi tercantum pada Tabel 2.
Hama penyakit dapat dimonitor secara visual, yaitu kepadatan populasi, kelompok telur, gejala penyakit, dan luas serangan. Populasi dan uji tertentu diamati sesuai dengan kekhasan hama penyakit. Populasi penggerek batang dapat diamati dengan menggunakan lampu perangkap atau perangkap feromon. Wereng coklat terkoreksi dihitung berdasarkan rasio kepadatan populasi wereng coklat dan musuh alaminya. Kepadatan populasi wereng hijau diamati dengan menggunakan jaring serangga, 20 kali ayunan tunggal. Tanaman terinfeksi virus diamati dengan uji iodium. Dari perkalian kepadatan populasi wereng hijau dan persentase bibit terinfeksi diperoleh indeks tungro. Skala gejala penyakit blas > 5 apabila luas gejala penyakit telah melebihi 26% dari luas permukaan daun
Tabel 2. Ambang kendali beberapa jenis hama dan penyakit padi.
Jenis hama-penyakit | Ambang kendali | Pustaka/keterangan |
Hama | ||
Penggerek Batang |
| Hendarsih dan Usyati (2001) |
Wereng Coklat |
| Baehaki (1999) |
Ganjur |
| Soetarto et al. (2001) |
Keongmas |
| Hendarsih et al. (2004) |
Penyakit | ||
Tungro |
| Widiarta et al. (2003); Suzuki et al. (1992) |
Hawar daun bakteri |
| Suparyono dan Sudir (1993) |
Blas |
| Amir et al. (2000) |
.
Karantina
Peraturan karantina bertujuan untuk mencegah masuknya organisme penggangu tanaman karantina (OPTK) dari wilayah sebaran asal ke daerah baru yang belum dijumpai OPTK tersebut. Pengendalian masuknya OPTK diatur dalam suatu peraturan karantina, sehingga karantina disebut pengendalian dengan peraturan (Horn, 1988). Indonesia memiliki Undang - Undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan, di samping Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2000 tentang Karantina Hewan, dan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2002 tentang Karantina Tumbuhan. Karantina hanya akan efektif bila aturan ditegakkan dan dipatuhi.
Masuknya OPTK padi secara legal adalah melalui tukar menukar plasma nutfah dan perdagangan. Secara ilegal dapat masuk melalui kemasan, pencurian plasma nutfah, dan perdagangan ilegal. Pada tahun 2007 pemerintah berupaya meningkatkan produksi padi setara dengan 2 juta ton beras dan untuk tahun berikutnya peningkatan produksi ditargetkan 5% sampai dengan tahun 2009. Salah satu langkah yang ditempuh adalah mengembangkan padi hibrida pada areal seluas135.000 ha. Masalah pengembangan padi hibrida adalah penyediaan benih F1. Produksi benih F1 hibrida di Indonesia masih rendah dibandingkan dengan negara lain, hasil tertinggi yang dicapai 2 t/ha. Untuk memenuhi kebutuhan benih diperlukan waktu dan perencanaan yang matang. Apabila pengembangan hibrida pada areal seluas yang diingingkan secepatnya maka waktu menjadi pembatas, pemenuhan kebutuhan benih tidak akan dapat dipasok dari dalam negeri. Penyakit tanaman padi yang ada di negara produsen benih di Cina tapi tidak dijumpai di Indonesia salah satunya adalah kerdil kuning (yellow dwarf), yang disebabkan oleh virus, dibantu penyebarannya oleh wereng hijau spesies Nephotettix cincticeps. Dengan demikian di impor benih padi hibrida perlu dengan ekstra hati-hati.
FALASI , MANFAAT, DAN STATUS PRAKTEK PHT
Falasi
Aplikasi Pestisida secara Bijaksana vs Pestisida zero (zero pesticide)
Dari studi The National IPM Program (1991) diketahui bahwa berkurangnya aplikasi pestisida oleh petani tidak menurunkan produksi, meskipun subsidi pestisida sudah dihilangkan. Produksi padi nasional tidak berkurang, malah terus meningkat sehingga menembus angka 50 juta ton pada awal milenium ketiga, sedangkan konsumsi pestisida turun sampai hanya 1/3 dari kondisi puncak tahun 1987 yang mencapai 59.000 ton. Dua kenyataan tersebut menimbulkan keyakinan sebagian orang bahwa tanpa pestisida (zero pesticide) produksi padi dapat dipertahankan bahkan ditingkatkan. Keyakinan tersebut menimbulkan persepsi bahwa PHT dapat dilakukan tanpa pestisida, yang tentunya tidak sesuai dengan konsep PHT.
Aplikasi Pestisida Berdasarkan Hasil Pengamatan vs simple rules.
Taktik penerapan PHT yang dianjurkan oleh IRRI bersifat sederhana (simple rules), yaitu tidak mengaplikasi insektisida pada tanaman padi sampai berumur 45 hari setelah tanam. Simple rules yang berhasil menekan serangan wereng coklat di Vietnam (IRRI 2002) tidak sepenuhnya dapat diterapkan di Indonesia, karena adanya masalah hama penggerek batang dan penyakit tungro, di samping wereng cokelat yang justru menyerang tanaman pada fase awal pertumbuhan. Khusus untuk penyakit tungro, periode tanaman peka berada pada saat tidak diperbolehkan aplikasi pestisida. Di daerah yang hanya bermasalah wereng coklat, taktik tersebut beralasan untuk diterapkan. Di samping itu, taktik tersebut tidak memperhatikan hasil pengamatan, yang menjadi salah satu taktik penting dalam penerapan PHT. Hal ini bertentangan dengan tujuan SL-PHT yaitu memberikan kesempatan kepada petani melakukan pengamatan dan mengambil keputusan sesuai hasil pengamatan.
PHT pada Satu Jenis Tanaman dan Hama Penyakit Tunggal vs Pola Budi Daya dan Komplek Hama Penyakit
Jenis hama penyakit yang berkembang pada suatu ekosistem umumnya lebih dari satu jenis. Perkembangan hama penyakit dipengaruhi oleh multifaktor , seperti jenis tanaman maupun pola budi daya di suatu ekosistem. Hampir semua PHT yang dirakit ditujukan untuk mengendalikan satu jenis hama-penyakit pada satu jenis tanaman tertentu. Savary et al. (1996) merancang portofolio survei untuk karakterisasi kendala hama penyakit pada suatu situasi sistem produksi (pola budi daya). Data hasil survei kemudian dianalisis dengan correspondence analysis. Dari analisis hubungan antara pola budi daya, kendala hama, dan hasil panen, suatu lokasi produksi dapat dikelompokkan menjadi beberapa golongan daerah (domain), sebagai dasar pengembangan PHT secara lebih holistik.
Manfaat Penerapan PHT
Sosial-Ekonomi
Hasil studi Tim Program PHT Nasional menunjukkan bahwa beberapa keuntungan yang didapat petani dari penerapan PHT setelah dilatih SL-PHT (The National IPM Program 1991) adalah: 1) biaya untuk pengendalian hama penyakit berkurang 50%, 2) frekuensi aplikasi pestisida berkurang dari rata-rata tiga kali menjadi satu kali/ periode tanam, 3) kebiasaan petani berubah dari aplikasi pestisida untuk pencegahan ke aplikasi berdasarkan hasil pengamatan. Petani SL-PHT menggunakan pestisida lebih rendah. Meskipun demikian kerusakan dan kehilangan hasil lebih rendah sehingga hasil yang dicapai lebih tinggi seperti terungkap dari hasil survei Irham (2002). Tabel 3 menyimpulkan bahwa penerpan PHT menekan kehilangan hasil tetapi penggunaan pestisida lebih rendah, sehingga rasio biaya dibandingkan dengan peningkatan hasil lebih tinggi diperoleh petani yang menerapkan PHT. Hal yang serupa juga dilaporkan oleh Kabore et al. (2002) yang menemukan bahwa rasio biaya dan keuntungan dari infestasi pada paket PHT mencapai 1: 3,38 lebih tinggi dari paket petani.
Tabel 3. Perbandingan rata-rata penggunaan pestisida, tingkat kerusakan tanaman, kehilangan hasil dan produksi padi antara petani yang menerapkan PHT dan yang tidak (modifikasi dari Irham 2002).
Jenis | Petani PHT | Petani non-PHT |
Penggunaan pestisida butiran (kg/ha) | 1,4 | 4,6 |
Penggunaan pestisida cairan (l/ha) | 2,4 | 3,8 |
Kerusakan tanaman (%) | 23,0 | 27,0 |
Kehilangan hasil (ton/ha) | 1,7 | 2,2 |
Hasil panen (kg/ha) | 3,7 | 3,4 |
Sejak dimulainya era peningkatan pengetahuan dan partisipasi petani dalam menerapkan PHT, sampai saat ini luas serangan hama, terutama wereng coklat, dapat ditekan sampai lebih rendah dari penggerek batang padi (Soetarto et al. 2001). Begitu pula luas serangan hama ganjur. Sedangkan serangan tikus masih tetap terluas. Luas penularan penyakit lainnya seperti tungro pada padi sawah yang ditanam tidak serempak di Jawa dan Bali serta penyakit blas pada lahan marjinal masih perlu mendapat penanganan lebih serius.
Dukungan politik pemerintah untuk menerapkan PHT dan meningkatkan keterampilan petani melalui SL-PHT telah mendorong industri pestisida untuk menghasilkan produk, pemasaran, dan pelayanan yang sesuai dengan PHT (Vorley 1990). Dengan demikian petani akan mendapatkan pilihan produk pestisida yang efektif, efisien, dan ramah lingkungan.
Keanekaragaman Arthropoda
Adopsi PHT akan merasionalkan penggunaan pestisida, bahkan ada kasus di mana tidak diperlukan penggunaan pestisida. Pada sawah yang tidak diaplikasi insektisida diketahui bahwa hama hanya menempati 21% keragaman artropoda, yang dominan adalah serangga netral yang mencapai 52% (Mahrub 1999). Serangga netral sebagian besar adalah mangsa dari predator. Dalam kelimpahan mangsa, predator akan berperan baik mengendalikan hama. Hasil studi pada sawah dengan pola tanam serempak dan tidak serempak menunjukkan bahwa keanekaragaman arthropoda pada sawah yang tidak diaplikasi pestisida lebih banyak dari yang diaplikasi, dengan hasil panen yang relatif sama (Arifin et al. 1997). Penerapan PHT tidak identik dengan bertanam padi tanpa pestisida. Dampak dari pengendalian hama dengan pestisida yang terjustifikasi penggunaannya berdasarkan hasil pengamatan terhadap keanekaragaman arthropoda perlu diteliti lebih lanjut.
Status Praktek PHT
Era Sentralistik
Implementasi PHT mulai dirintis pada tahun 1979/80 untuk mengendalikan hama wereng coklat. Taktik pengendalian yang diterapkan meliputi: (a) penggunaan varietas tahan, (b) tanam serempak, (c) penerapan pola tanam berbasis padi (padi-padi-palawija), dan (d) penggunaan insektisida berdasarkan hasil surveilan (Oka 1982). Taktik serupa juga diiplementasikan untuk pengendalian penyakit tungro dan hama tikus. Untuk maksud surveilan pemerintah mengangkat pengamat hama. Apabila terjadi ledakan hama di suatu lokasi maka digerakkan brigade proteksi tanaman, terutama untuk mengendalikannya dengan insektisida. Peran pemerintah sangat besar dan penerapan PHT sentralistik. Pemerintah membentuk institusi seperti Balai Proteksi Tanaman hampir di setiap provinsi, Sentra Peramalan Hama dan Penyakit, dan Laboratorium-laboratorium pengamatan hama dan penyakit di daerah untuk mendukung penerapan PHT. Peran petani pada masa itu masih sangat kecil. Karena itu belum banyak yang memahami PHT. Pola penerapan PHT secara sentralistik terus diterapkan sampai terjadi ledakan populasi wereng coklat yang merusak 75.000 ha tanaman padi di Jawa Tengah pada tahun 1986. Kejadian ini telah menyadarkan Departemen Pertanian untuk menerapkan taktik yang lebih baik.
Meskipun insektisida diaplikasikan berdasarkan hasil surveilan populasi hama, insektisida yang digunakan banyak yang berspektrum luas dan tidak ramahlingkungan, khususnya terhadap musuh alami. Melalui Dekrit Presiden No. 3 Tahun 1986 pemerintah melarang penggunaan 57 jenis insektisida pada tanaman padi karena dikhawatirkan menimbulkan resurjensi.
Era Partisipatif
Butir penting dari Dekrit Presiden tersebut adalah partispasi petani dalam menerapkan PHT dengan meningkatkan pengetahuan petani. Pengetahuan dan peran petani mulai ditingkatkan melalui pelatihan-pelatihan dalam bentuk SL-PHT. Pada SL-PHT petani peserta dijadikan sebagai murid dan pemandu lapang sebagai guru. Namun pada SL-PHT tidak dibedakan antara guru dan murid, karena saling memberi pengetahuan berdasarkan pengalaman. Departemen Pertanian bekerjasama dengan Bank Dunia telah melatih 1.048.584 orang petani, termasuk 27.092 petani berkemampuan sebagai pelatih PHT (Soetarto et al. 2001). Petani dilatih untuk menjadi ahli PHT agar mengidentifikasi masalah dan mengambil keputusan yang terbaik bagi pengendalian hama di lahan sawahnya. Sejak itu dimulai era penerapan PHT secara partisipatif.
Era Integratif
Dalam bercocok tanam padi, PHT tidak berdiri sendiri, melainkan sebagai bagian dari upaya memproduksi padi dengan hasil paling tinggi dan keuntungan petani paling besar. Oleh karena itu PHT harus merupakan bagian dari budi daya padi yang baik (good cultural practice). Pada dasarnya sistem budi daya padi akan mempengaruhi dinamika populasi hama, dan sebaliknya.
Pada tahun 1994, FAO bekerjasama dengan Badan Litbang Pertanian merintis penelitian Integrated Crop Management(ICM). Hasil-hasil penelitian itu menghasilkan konsep Pengelolaan Tanaman dan Sumber Daya Terpadu (PTT), yaitu suatu pendekatan sistem budi daya yang perakitan komponen teknologinya diintegrasikan berdasarkan hasil analisis pemahaman peluang dan kendala. PHT merupakan komponen teknologi dasar (compulsary), yaitu komponen teknologi yang relatif dapat berlaku umum untuk wilayah yang luas dalam pendekatan PTT. Meskipun PTT telah dibuktikan dapat meningkatkan produktivitas, produksi, dan efisiensi usahatani pada Program Peningkatan Produktivitas Padi Terpadu (P3T), tidak serta merta diterapkan petani pada program peningkatan produksi beras nasional (P2BN) pada tahun 2007. Pada tahun 2008, belajar dari sukses SL-PHT, PTT didiseminasikan kepada petani dengan pendekatan sekolah lapang yang disebut SL-PTT.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar